Tujuh Belas

60K 7.8K 446
                                    

Maaf, ya. Malem update-nya. Tapi, emang sengaja sih, biar nggak pada lupa vote. Wkwkwk. Nggak dink. Tadi, ada 'drama' sedikit dari seseakun. Nggak perlu saya terangkan siapa. Rahasia. 😜😜

Vote ojo lali, yo! Matur nuwun. Jowone metu. 😂😂

------------------

Manik hitam kecokelatan itu terus terpaku pada nama yang tercetak dengan tinta warna emas di sebuah kartu undangan. Ilham yang tadi menyerahkan undangan berwarna hitam itu sebelum Arsal memasuki ruangannya. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana sorot mata Ilham yang menatapnya penuh kekhawatiran.

Arsal tertawa getir. Hanya sekilas saja. Namun, derainya seakan menyiratkan kepiluan yang teramat dalam. Sebagai lelaki, dia memang sepayah ini. Seharusnya, selama dua minggu ini—sejak Sasi resmi dilamar Satya, dia bisa mengendalikan hatinya, lalu melenyapkan perasaan itu tanpa tersisa sedikit pun. Nyatanya, Arsal kesulitan membuang jauh perasaannya, sesulit membalik sebongkah batu besar berbobot ratusan ton.

Arsal meletakkan kembali kartu undangan dengan desain bunga-bunga di setiap sudutnya itu ke meja kerja, lalu menutupnya dengan stopmap yang diambil asal. Dihempaskannya tubuh kukuh itu ke kursi. Mata sipitnya terpejam rapat. Rasa pening mulai merambati kepala. Arsal memijit pelipis pelan. Melihat nama Sasi bersanding dengan Satya di kartu undangan itu membuat kepalanya terasa berat.

Arsal tidak menduga jika pernikahan mereka akan digelar secepat ini. Bahkan, hanya berselang tiga minggu sejak Satya melamar Sasi dua minggu lalu.

“Sasi hanya tinggal sendirian di sini, Bos. Mungkin itu yang membuat keluarga dokter Satya mempercepat akad nikah mereka.” Begitulah yang dikatakan Ilham saat lelaki kurus itu mengikuti Arsal memasuki ruangannya—padahal tidak dipersilakan masuk. Melihat air wajah Arsal yang berubah keruh, meletupkan keprihatian Ilham sehingga lelaki itu memilih mengekori bosnya. Barangkali sekadar pertanyaan “Apakah Bos baik-baik saja?” bisa membuat keadaan Arsal menjadi lebih baik.

Undangan ini memang untuk akad nikah saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat. Kata Ilham, resepsi pernikahan mereka baru bisa digelar sebulan lagi. Kesibukan keluarga Satya sepertinya tidak memungkinkan menggelar akad nikah dan resepsi di hari yang sama. Setahu Arsal, kedua orangtua Satya memang sama-sama berprofesi sebagai dokter. Ayah Satya adalah dokter spesialis bedah saraf, sedang ibunya merupakan dokter spesialis obgyn.

Arsal mengusap wajahnya kasar. Sepertinya dia harus benar-benar melupakan Sasi. Sebentar lagi gadis itu akan dipersunting oleh lelaki lain. Betapa konyolnya jika Arsal masih menyimpan perasaan untuk seseorang yang sudah menjadi istri orang lain. Arsal pikir, dia kesulitan menghilangkan perasaannya karena belum sepenuhnya ikhlas menerima kenyataan ini. Dia harus lebih mendekatkan diri kepada-Nya agar hatinya tenang, lalu memasrahkan semua kepada sebaik-baik Pemberi keputusan. Bukankah Allah menyukai hamba yang bertawakal kepada-Nya?

***

Jantung Arsal berdetak semakin kencang sejak kaki jenjangnya menapak di tempat ini. Sekujur tungkainya serasa membeku saat Arsal mulai melangkah pelan. Satu pijakan saja seakan ada bongkahan es yang melekat di kulitnya. Arsal menarik napas panjang. Bagaimanapun, dia harus kuat. Lagipula, dia datang ke sini karena ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bukan lelaki lemah.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang