Sembilan

74.3K 8.2K 378
                                    

Kepala Sasi melongok ke dalam ruangan berukuran 10 x 5 meter. Derai tawa merambat memenuhi ruangan. Seseorang yang berada di tengah para penyandang disabilitas itu memang memiliki selera humor yang tinggi. Baru setengah jam berlalu, entah sudah berapa kali para murid yang duduk saling berhadapan itu bergelak tawa.

Hari Minggu pagi ini, Komunitas Rajut Cinta menggelar workshop kewirausahaan untuk para penyandang disabilitas. Beberapa waktu lalu, Sasi berusaha menghubungi seorang pengusaha sepatu rajut asal Jogja. Dari feeds Instagram memang diketahui jika pengusaha muda itu akan mengisi sebuah workshop pukul 2 siang nanti di Jakarta.

Gayung pun bersambut. Saat Sasi mengutarakan maksudnya, wanita berparas ayu itu langsung bersedia membagikan pengalamannya memulai bisnis sepatu rajut hingga sesukses sekarang sekaligus memberikan pelatihan secara singkat. Wanita itu bahkan sampai rela datang lebih awal dari waktu yang direncanakan agar bisa membagikan ilmunya kepada para penyandang disabilitas.

“Kak Sasi kepo,” gumam Ruby yang duduk di dekat pintu sembari tersenyum geli. Suara Ruby sangat pelan. Namun, dari gerakan bibirnya, Sasi sudah paham dengan yang dikatakan Ruby.

Sasi hanya tertawa tanpa suara menanggapi celetukan Ruby. Kemarin, saat diberitahu jika hari ini ada workshop kewirausahaan, Ruby langsung antusias untuk ikut serta. Ruby sebetulnya bukan merupakan peserta pelatihan karena dia sudah lebih dulu diajari Sasi merajut. Tadi, mereka berangkat bersama, naik taksi online. Sementara, ibu Ruby yang gantian menjaga ibu Sasi di rumah setelah diijinkan pulang, tiga hari yang lalu.

“Sas ....”

Sasi menoleh ke arah sumber suara. Tampak Hania tengah berjalan tergopoh mendekatinya. Sudah setahun ini, Hania ikut bergabung di Komunitas Rajut Cinta.

Wanita berbadan lebar itu mengulurkan benda segi empat kepada Sasi. Tadi, saat Sasi hendak ke belakang, dia memang menitipkan gawainya pada Hania. “Ada yang telepon kamu, nih. Nggak tahu siapa. Nomor nggak dikenal.”

Kening Sasi mengernyit. Diterimanya benda pipih berwarna putih dari tangan Hania. Sasi bergerak menjauh. Hania mengekor.

“Halo, assalamu'alaikum,” sapa Sasi setelah menggeser tombol hijau.

“Ini dari siapa, ya?” Tawa para peserta workshop kembali membahana. Suara dari seberang telepon seperti hilang dimakan udara. Sasi melenggang keluar, diikuti Hania. “Maaf, tadi kurang jelas. Ini dari siapa, ya? Oh ... ada perlu apa, Mbak? Iya, ini saya sendiri.”

Hania memperhatikan Sasi dengan saksama. Raut mukanya menyiratkan rasa penasaran, seakan sudah tak sabar untuk sesegera mungkin bertanya pada Sasi.

“Siapa, Sas?” tanya Hania setelah Sasi mengakhiri panggilan.

Sasi menatap Hania semringah. “TV Satu mau ngeliput kegiatan Komunitas Rajut Cinta karena dinilai peduli sama para penyandang disabilitas.”

Hania terkesiap. “TV Satu mau ngeliput kita?”

Sasi mengangguk. “Lebih tepatnya mereka mau ngeliput kegiatan kita saat memberikan pelatihan merajut bagi para penyandang disabilitas.”

Kegiatan pelatihan merajut memang sudah berjalan selama 2 bulan ini (intensitas pertemuan seminggu sekali, digelar setiap hari Minggu). Selain Sasi yang memberikan pelatihan merajut, teman-teman yang tergabung dalam Komunitas Rajut Cinta juga bergantian membagikan ilmu dan pengalamannya. Dua bulan menjalani pelatihan, beberapa peserta sudah bisa membuat tas rajut, sweater dan syal. Sasi juga membantu memasarkan hasil karya rajutan mereka secara online.

Melihat bagaimana raut bahagia ketika barang buatan mereka laku terjual, memberi kebahagiaan tersendiri bagi Sasi. Gadis itu memang berharap suatu saat nanti mereka bisa mandiri dan kelak menjadi seorang pengusaha sukses. Inilah mengapa setelah dua bulan berjalan, Sasi juga berinisiatif untuk mendatangkan narasumber dari pengusaha-pengusaha produk rajutan yang sukses mengembangkan bisnisnya.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang