"Sas ...."
Sasi yang tengah menata kotak makan dua susun berisi nasi rempah gurih dan bebek goreng krispi—dilengkapi urap kacang panjang dan sambal lombok hijau—menoleh pada Hania.
"Aku sebenarnya nggak mau menyimpulkan siapa yang ngirim makanan ini. Aku yakin, kamu pasti bakalan tercengang kalau kemarin kamu datang ke restoran Oppa Korea rasa sinetron azab itu." Hania membenahi posisi duduknya. Sementara Sasi hanya memandangnya datar. "Kamu tahu? Menu-menu yang dikirimin ke kamu ini semua berasal dari restorannya, Sas."
Sasi tidak terkejut. Dia sudah mulai meyakini siapa orang misterius yang selama ini mengiriminya makan siang. Namun, Sasi memilih tidak memikirkannya lebih jauh. "Memangnya kenapa kalau semua menu yang dikirim ini berasal dari restorannya dia? Kamu nggak langsung mikir yang ngirimin dia, 'kan?" sahut Sasi mencoba tak acuh sembari meraih botol berisi mix jus buah yang masih dingin, lalu meneguknya pelan.
Hania menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu dia, Sas, aku nggak mau mikirin siapa si pengirim ini. Sejujurnya, aku sudah trauma sama yang begitu itu. Dulu sebelum aku ditolak berkali-kali waktu proses taaruf itu, aku pernah dideketin sama cowok. Awalnya sih aku ngira dia mau ngajakin taaruf. Sampai aku sudah terlanjur ke-GR-an, eh ... nggak tahunya dia cuman jadiin aku perantara buat taaruf sama adikku," jelasnya dengan wajah ditekuk.
Sasi diam sejenak, menatap Hania dengan pandangan prihatin. Beberapa detik kemudian dia berkata, "Aku juga nggak mau mikirin siapa yang ngirim makanan ini, Han. Aku nggak tahu maksud dia itu apa? Kenapa dia juga terus-terusan sembunyi? Ketimbang aku ke-GR-an, lebih baik aku nggak perlu mikirin dia ini siapa, 'kan?"
Setelah ibunya meninggal empat hari yang lalu, Sasi baru berangkat siaran, hari ini. Sesuai tebakannya, kiriman makan siang itu—untuk kesekian kalinya—datang lagi. Ini jelas semakin menyakinkan Sasi jika orang itu memang tahu kapan dia siaran. Namun, demi menjaga kesehatan hati, Sasi memilih tidak menghiraukannya. Toh, semua masih abu-abu. Entah alasan apa yang membuat lelaki itu memberikan perhatian secara diam-diam seperti ini? Apa karena ada rasa atau hanya sebatas kasihan? Bila melihat bagaimana lelaki itu pernah menolaknya dulu, rasanya mustahil jika sekarang dia berbalik menyukainya.
"Aku sebenarnya sudah yakin banget kalau dia orangnya, Sas. Kalau dipikir-pikir, kiriman makan siang ini selalu datang pas kamu ada siaran di jam siang. Hari ini, kamu mulai siaran lagi, dia juga langsung tahu, 'kan?" Hania memutar kursinya menghadap Sasi. "Benar yang kamu bilang tadi, sebenarnya maksud dia itu apa? Sudah selama ini, dia tetap nggak nongol juga. Kalau dia memang serius, pasti dia segera ngasih kepastian, 'kan?"
Hania menghela napas. "Siapa pun dia, buatku itu nggak penting. Bagaimanapun juga wanita itu butuh kepastian. Aku bilang gini karena rasanya itu nyesekin banget, Sas. Saat kita sudah berpikir dia menyukai kita, eh ternyata kitanya yang cuman ke-GR-an. Makanya, aku nggak mau kamu bernasib kayak aku, sudah baper duluan sebelum ada kepastian. Seriusan, itu rasanya sakit banget, Sas."
Sebetulnya Hania juga penasaran, siapa orang yang selama ini sering menyuruhnya menelepon Sasi untuk sekadar tahu apa gadis itu sudah sampai di rumah atau belum, di mana keberadaannya atau apakah dia baik-baik saja. Sampai sekarang, Ilham tetap saja bungkam siapa orang itu. Pun begitu, Hania yakin betul jika orang itu memang berada di gedung ini. Dan tebakan Hania meruncing pada satu nama itu. Namun—sama dengan Sasi—dia memilih tidak mengacuhkan sebelum lelaki itu benar-benar muncul untuk memberikan kepastian.
***
Arsal mengembuskan napas perlahan. Degub jantungnya masih saja berdetak tak menentu. Jemari kukuh lelaki itu saling bertaut cemas. Entah mengapa, sofa single yang didudukinya saat ini terasa panas. Berkali-kali dia harus membenahi posisi duduknya agar terasa nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...