Arsal berjalan memasuki sebuah kafe mengikuti ibunya. Begitu kaki jenjangnya menapaki lantai parket berbahan kayu jati itu, Arsal seperti tengah berada di kebun strawberry. Langit-langit kafe dipenuhi tanaman strawberry tiruan yang merambat hingga ke dinding. Sofa-sofa berwarna merah yang berada di sisi kanan juga dilengkapi bantal berbentuk strawberry.
Kafe sudah dipenuhi para tamu undangan. Beberapa anak muda tampak sibuk memotret menu makanan dengan ponselnya. Arsal tebak, mereka mungkin adalah para buzzer atau food bloger yang sengaja diundang untuk mempromosikan kafe.
“Sal, sini!” suara panggilan Herdina mengalihkan perhatian Arsal. Ibunya tengah bersama seorang wanita paruh baya. Wanita berhijab cokelat susu itu sepertinya teman ibunya yang memiliki kafe. Namun, bila melihat bagaimana desain interior kafe, Arsal sangsi jika kafe ini dimiliki oleh wanita yang sudah berumur setengah abad.
Arsal mulai yakin dengan dugaannya setelah berjalan mendekati ibunya. Di sebelah wanita paruh baya itu ada seorang gadis bertubuh tinggi yang mengenakan hijab biru navy. Seharusnya Arsal bisa mencium aroma perjodohan ketika Gavin meneleponnya tadi. Saat di mobil, dia memang hanya menanyakan lokasi kafe karena mood-nya sedang tidak bagus untuk mengajak ibunya bicara.
“Sal, kenalin. Ini Tante Rima, temannya Mama pas masih SMA dulu.”
Arsal menundukkan kepala sebagai salam hormat sembari tersenyum tipis.
“Ternyata Arsal lebih ganteng aslinya, ya, Jeng. Kemarin sempat lihat foto Arsal di majalah bisnis itu, ganteng juga. Tapi, lebih ganteng pas ketemu langsung begini.”
Arsal mengusap tengkuk seraya mengulum senyum yang tawar. Dia paling tidak nyaman jika orang berkomentar tentang bagaimana rupanya. Seganteng atau secantik apa pun tampang seseorang hanyalah pinjaman dari Tuhan. Tidak semestinya dipuji berlebihan yang akhirnya malah membuat yang dipuji terlalu membanggakan. Bagi Arsal, dia lebih suka orang membicarakan prestasi ketimbang raut wajahnya.
“Davina juga lebih cantik aslinya, Jeng,” puji Herdina pada putri semata wayang temannya. Wanita bermata sipit itu memandang putranya. “Oh, ya, Sal. Ini Davina. Dia pemilik kafe ini.”
Davina yang dikenalkan tampak menunduk malu-malu.
“Yang Mama salut sama Davina itu, dia masih sempat-sempatnya buka kafe padahal dia sudah sibuk jadi dokter,” puji Herdina lagi. Pipi Davina yang putih mendadak merona karena pujian itu.
Arsal hanya memasang ekspresi biasa saja. Tebakannya memang benar. Ibunya berusaha menjodohkannya dengan Davina. Jika Arsal tahu sejak awal, dia pasti menolak mengantar ibunya. Davina jelas bukan tipe Arsal, secantik apa pun paras gadis itu. Lagi pula, dia juga tidak suka jika istrinya kelak terlalu sibuk dengan aktivitasnya di luar rumah.
Arsal melirik arloji. Sudah pukul 8 malam. Sejak tadi, sebenarnya dia masih mengkhawatirkan Sasi. Karena menghadiri acara perjodohan terselubung seperti ini, dia malah meninggalkan gadis itu. Rasanya dia ingin meluapkan kekesalan saat ini juga. Namun, berusaha ditahannya. Bagaimanapun, dia tidak mungkin kesal dengan ibunya sendiri.
“Ma, aku mau ke depan dulu,” ijin Arsal kemudian. Dia harus segera memastikan Sasi sudah sampai di rumahnya atau belum.
“Mau ngapain? Di sini saja.”
“Aku mau nelepon seseorang, Ma. Penting.”
Herdina menghela napas. “Ya, sudah. Nanti setelah selesai ke sini lagi.”
Arsal mengangguk kecil. Lelaki itu segera beringsut menuju depan kafe. Dia harus menelepon Ilham untuk menanyakan apakah Sasi sampai di rumahnya atau belum lewat Hania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...