Dua Puluh Dua (1)

63.8K 8.1K 314
                                    

Vote dulu, ya! 😂

***

Hatciiiing!

“Bos flu lagi?” tanya Ilham yang duduk di samping Arsal. Mereka kini tengah berada di boarding lounge untuk menunggu pesawat yang akan membawa mereka menuju Bandara Adisutjipto, Jogja.

Arsal hanya diam. Diusapnya hidung yang mancung itu dengan sapu tangan. Dia melirik seseorang yang duduk di sofa, arah pukul sembilan di depannya. Ternyata gadis berkhimar warna khaki itu juga mengerling ke arahnya. Tetapi, hanya sekilas saja karena wanita paruh baya yang berada di sebelahnya mengajak gadis itu berbicara lagi.

Meski hanya berbisik saja, Arsal bisa menebak apa yang tengah dibicarakan ibunya kepada Sasi. Benar dugaan Arsal. Tak lama kemudian, ibunya mengeluarkan ponsel, lalu memperlihatkan layarnya pada Sasi. Gadis itu sontak tertawa geli seraya menutupi dengan telapak tangan.

Arsal mendesah kasar. Gavin memang hanya sekadar mengerjainya karena video yang direkamnya itu tidak sungguh-sungguh dikirimkan kepada Sasi. Namun, justru ibunya sendiri yang menunjukkan video itu kepada Sasi. Arsal jelas yakin jika Gavin sudah pasti  akan membagikan video itu kepada ibunya.

Arsal menoleh, menatap kesal Gavin yang duduk di sofa sebelahnya, dipisahkan meja. Adik tengilnya itu seperti biasa tengah berkutat dengan ponselnya. Entah game apa yang kali ini dimainkannya.

Sore ini, Arsal bersama keluarganya—termasuk Sasi, Ilham dan juga Hania—akan bertandang ke Klaten, Jawa Tengah, untuk menemui ayah Sasi. Ustaz Fauzan terpaksa tidak bisa ikut serta karena hari ini harus mengisi kajian di luar kota.

Setelah Sasi menerima lamarannya, malam kemarin, Arsal tidak ingin menunda untuk segera meminang gadis itu secara resmi. Dia tidak memedulikan kondisi tubuhnya yang kurang sehat karena terserang flu pagi tadi—setelah Gavin menceburkannya ke dalam kolam renang malam harinya. Dia pikir, keadaannya akan membaik setelah meminum obat. Namun, hingga sore ini, dia masih sedikit pusing dan sesekali bersin.

“Apa Bos sakit karena digantungin Sasi?” Ilham bertanya lagi.

Arsal memandang Ilham, bosan. “Aku flu bukan karena itu.”

“Baguslah. Kupikir karena digantungin,” timpal Ilham enteng. “Kuharap nanti, Bos nggak sampai bersin lagi pas berhadapan sama ayahnya Sasi. Nggak kebayang gimana reaksi beliau kalau punya calon mantu gampang sakit begitu.”

Arsal mengeraskan rahang. Ditatapnya Ilham, tajam. Sementara, Ilham hanya membalas dengan cengiran jahil.

Arsal mengalihkan pandangan ke arah Sasi lagi. Gadis itu masih bercengkerama akrab dengan ibunya. Melihat interaksi keduanya membuat kedua sudut bibir Arsal terangkat tipis. Dia memang tidak salah memilih Sasi sebagai calon pendamping hidupnya.

Arsal masih menatap beberapa detik  hingga seseorang menutupi wajah Sasi dengan sebuah novel berjudul Episode Kedua. Arsal sedikit mendongak. Lelaki itu seketika tergemap. Hania yang berdiri di samping Sasi tengah memolotinya, galak. Mirip ibu tiri jahat yang membelalakkan mata kepada anak tirinya.

Arsal menggelengkan kepala, jengkel. “Sebenarnya tontonan seperti apa yang meracuni otak istrimu?” bisik Arsal sedikit mencondongkan tubuh ke arah Ilham. Nada suaranya terdengar tajam.

“Kenapa, Bos?”

“Lihat saja istrimu! Aku hanya memandang Sasi, dia sudah melotot galak seperti itu.”

Ilham menjeling sebentar ke arah istrinya, lalu menatap Arsal sebal. “Nggak heran kalau istriku jadi galak sama Bos. Orang Bos saja nggak bisa jaga pandangan gitu. Sabar dikit, kenapa? Halalin dia dulu, baru puas-puasin mandang dia. Mau yang lebih dari itu juga boleh. Malah jadi ibadah.”

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang