Empat Belas

61.5K 8.7K 353
                                    

Sasi memandangi kembali sesosok tubuh yang terbujur kaku di depannya. Rasanya dia masih belum memercayai jika sosok di balik kain jarik motif batik klasik itu adalah jasad ibunya.

Pagi ini, ruangan tamu yang berukuran kecil ini sudah dipenuhi para pelayat wanita. Jasad Pratiwi diletakkan di tengah. Lantunan doa digumamkan lirih agar Allah mengampuni dosa-dosa ibunya.

Hania mengusap lengan Sasi untuk menguatkan. Sedari tadi, wanita bertubuh subur itu memang selalu berada di sampingnya. Sasi baru mengabari Hania selepas shalat Subuh. Kondisi Sasi yang begitu rapuh malam kemarin memang belum memungkinkan untuk mengabari teman-temannya. Dia hanya sempat memberi kabar pada keluarganya di Klaten dan keluarga dari ibunya.

Pukul dua dini hari tadi, keluarganya dari Klaten sudah sampai ke rumah Sasi. Beruntung mereka masih mendapat tiket penerbangan terakhir dari Jogja menuju Jakarta. Hanya ayah kandung dan dua kakak laki-laki Sasi yang bisa datang. Ibu kandungnya sedang tidak enak badan. Karena tidak mungkin ditinggal sendirian, kakaknya yang nomor tiga terpaksa tidak bisa ikut. Arimbi sendiri juga tidak bisa melayat karena hari ini dia harus menjalani sidang tesis.

Sasi menjeling ketika Hania menepuk punggung tangannya pelan.
“Apa itu mamanya Oppa Korea rasa sinetron azab ya, Sas? Wajahnya mirip banget,” bisik Hania seraya menutupi mulut agar tidak sampai terdengar oleh orang yang duduk di sampingnya.

Kepala Sasi menoleh. Gadis itu sontak terkejut ketika mendapati wanita paruh baya bermata sipit yang mengenakan gamis hitam dipadu hijab berwarna senada tengah menyalami beberapa ibu yang menyambut pelayat di depan pintu. Sasi segera bangkit. Hania juga ikut menegakkan tungkai ketika dilihatnya sesosok lelaki jangkung berdiri di belakang wanita itu. Ternyata tebakan Hania benar. Wanita yang masih kelihatan cantik itu memang ibunya Arsal.

“Tante Herdina ....” Belum selesai Sasi menyelesaikan kalimat sapaannya, Herdina sudah meraih tubuh Sasi ke dalam pelukan.

“Yang sabar ya, Sas. Tadi, waktu Arsal kasih tahu kalau ibumu meninggal, Tante jadi khawatir sama keadaan kamu. Pasti kamu sedih banget karena kehilangan ibumu.” Herdina mengurai pelukan. Wanita berkulit putih bersih itu memandang Sasi lekat. Matanya sudah berkaca-kaca. “Tapi, Tante yakin kamu pasti kuat,” ucapnya melanjutkan seraya tersenyum hangat.

Sasi mencelos. Perlakuan Herdina ini serasa seperti perhatian seorang ibu kepada putrinya. Akhir-akhir ini hubungan keduanya memang sangat dekat. Beberapa waktu belakangan, Herdina selalu menyempatkan menghubungi Sasi. Entah hanya curhat remeh temeh atau sekadar membicarakan sesuatu yang sedang viral atau jadi trending topic di media sosial. Sasi justru merasa heran sendiri dengan kedekatan mereka. Padahal sebelumnya, Herdina hanya akan menghubunginya jika ada kepentingan saja.

Pandangan Sasi kini beralih kepada lelaki berkemeja hitam lengan panjang yang berdiri di belakang Herdina. Sorot mata lelaki itu tampak sendu menatap Sasi.

“Kamu ... sudah lebih baikan, ‘kan?” tanya Arsal pelan.

Sasi mengangguk kecil. “Seperti yang Pak Arsal lihat. Alhamdulillah saya baik-baik saja.”

“Walau aku baru ketemu beliau sekali, tapi aku yakin beliau adalah ibu yang hebat. Semoga beliau husnul khotimah.”

“Aamiin. Terima kasih doanya, Pak.”

Herdina yang berdiri di antara Sasi dan Arsal memandang keduanya bergantian. Alisnya bertaut heran ketika mengetahui interaksi mereka ternyata sangat kaku sekali. “Kamu ... masih panggil dia ‘Pak’?” tanya Herdina kepada Sasi sembari telunjuknya menuding ke arah Arsal.

“Ya?” Sasi tampaknya masih belum paham dengan maksud Herdina.

“Hm ... lupakan.” Herdina mengibaskan tangan. Dia beralih menatap Arsal. “Kamu nggak mungkin ikut duduk di sini sekalian kan, Sal?” Herdina bermaksud mengusir Arsal secara halus. Di ruangan ini hanya ada pelayat wanita. Pelayat pria berada di jalanan kompleks yang dipasangi terop.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang