Sebelas

65.9K 7.7K 194
                                    

Hania menahan lengan Sasi saat hendak berlalu dari ruang rekaman. Mereka baru saja selesai rekaman untuk iklan sebuah produk hijab dari brand ternama. Alis Sasi bertaut tipis. Sorot matanya seolah bertanya ‘ada apa' kepada wanita bertubuh subur itu.

Hania menoleh ke arah tiga lelaki yang berada di ruang produksi—letaknya tepat di depan ruang rekaman—yang sebagian dindingnya disekat kaca tembus pandang. Para lelaki dari tim produksi itu tampak tengah mendiskusikan sesuatu dengan pandangan menekuri layar komputer. Meski merupakan ruangan kedap suara, Hania harus memastikan jika pembicaraan mereka tidak sampai menjadi perhatian.

“Aku baru tahu kalau kamu sudah nggak siaran bareng dokter Satya lagi,” kata Hania pelan.

“Aku sudah dikasih tahu Pak PD akhir bulan lalu. Katanya biar ada penyegaran, makanya diganti,” terang Sasi singkat. Awalnya dia juga terkejut saat Program Director memberitahunya jika dia tidak siaran lagi di talkshow ‘Kita Sehat'. Sebagai gantinya, dia kini memandu talkshowHi-Tech’. Sasi sempat berpikir jika dia dipindah ke acara lain karena siarannya dinilai buruk. Namun, setelah tahu jika penyiar-penyiar lain juga diganti, dia mulai percaya dengan penjelasan ‘penyegaran' yang dikatakan Program Director.

“Apa Oppa Korea rasa sinetron azab itu nyari ulah lagi sama kamu, Sas?” selidik Hania penasaran. “Perasaan siaran kamu sama dokter Satya bagus-bagus saja, kok. Kalian juga disukai pendengar karena talkshow-nya bisa mencair, biarpun yang diobrolkan itu tentang kesehatan.”

Sasi mendesah pelan. “Jangan su'udzon dulu deh, Han. Nggak cuman talkshow ‘Kita Sehat' saja yang diganti, talkshow lain juga diganti penyiarnya, kok. Menurutku karena memang untuk penyegaran saja.”

Hania menghela napas. “Kamu nggak tahu saja gimana terkejutnya dokter Satya pas tahu kamu nggak siaran lagi sama dia.”

Sasi hanya melirik sekilas. Dia tidak ingin menanggapi bagaimana reaksi terkejut Satya karena tidak siaran lagi dengannya. Kalau atasan sudah memutuskan, dia bisa apa?

***

Matahari hampir tenggelam saat Sasi melintas di jalan ini. Semburat merah jingga samar-samar memulasi ufuk barat. Meski belum gelap benar, lampu-lampu jalan mulai berpendaran. Kerlap cahaya dari lampu di gedung-gedung tinggi juga sudah dinyalakan.

Sasi memacu motornya dengan hati-hati. Kawasan ini dikenal sebagai daerah yang rawan ranjau paku. Entah sudah berapa kali, ban motornya kempes karena terkena paku saat melewati jalan ini.

Sasi sontak menyebut nama Allah ketika menyadari ada yang tidak beres dengan ban di bagian belakang. Dia sudah sangat yakin, ban motornya kempes lagi karena ranjau paku. Tanpa pikir panjang, dipinggirkannya motor matic berwarna merah itu ke sisi kiri.

“Benar, ‘kan?” sungut Sasi ketika memeriksa ban motornya. Gadis itu menghela napas panjang. Diliriknya arloji putih yang melingkar di tangan kiri. Sudah pukul 17.20 WIB. Sepertinya tambal ban sudah tutup semua. Untuk memastikan apakah ada tempat tambal ban yang masih buka, dia harus menuntun motor sejauh satu kilometer lagi.

Sasi mendesah pelan. Risiko jika pulang menjelang petang memang seperti ini. Sebenarnya dia agak berat menyetujui saat ada teman sesama penyiar meminta menggantikannya karena ada urusan mendadak. Namun, karena tidak ada penyiar lain yang waktunya kosong, Sasi akhirnya bersedia siaran.

Tanpa Sasi sadari, seseorang dari balik kemudi mengamatinya dengan sorot khawatir. Tadi, saat lelaki itu tahu jika Sasi siaran di jam sore, dia harus menunda waktu pulang. Sebetulnya dia agak kesal dengan Sasi. Kenapa gadis itu mau saja menggantikan siaran temannya di jam seperti ini? Padahal dia sudah meminta Fian untuk tidak membuat jadwal siaran pada jam sore agar Sasi tidak sampai pulang petang ke rumahnya.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang