Sembilan Belas (2)

61.5K 7.9K 293
                                    

Empat orang yang duduk di sofa berwarna cokelat muda itu masih terdiam. Ruangan begitu hening. Belum ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Seseorang yang diharapkan bersuara duluan masih saja menundukkan pandangan dengan jemari saling memilin satu sama lain.

Satya melirik Sasi yang duduk di sofa panjang—diapit ayah dan kakak sulungnya. Sebenarnya, dia penasaran dengan apa yang akan disampaikan gadis itu. Satya sempat terkejut saat nama Sasi muncul di layar. Lebih terkejut lagi ketika gadis itu meminta untuk bertemu secepatnya di tempat ini—di kamar VVIP yang sudah disewa Satya sebelumnya.

Satya menghela napas. Air wajahnya begitu cemas menanti Sasi berbicara. Entah mengapa, Satya justru merasa apa yang ingin dikatakan Sasi ini berkaitan dengan rencana pernikahan mereka yang akan digelar dua jam lagi.

“Apa ... dokter masih ingat sama gadis yang wajahnya mirip dengan saya saat di Malioboro waktu itu?” Sasi akhirnya bersuara. Gadis itu masih terus menunduk.

Dahi Satya berkerut tipis. Tampak jelas dari raut mukanya, dia belum mengerti maksud pertanyaan Sasi.

“Dokter tentu masih ingat sama gadis yang pernah nolongin neneknya dokter Satya saat di Malioboro waktu itu, ‘kan?” Sasi kembali memperjelas pertanyaannya agar Satya paham maksudnya. Gadis itu lantas menatap Satya—sebelum bertemu Satya, dia sudah menghapus riasan di wajahnya. “Asal dokter tahu. Gadis itu bukan saya, Dok. Sepertinya, dokter Satya salah mengira kalau saya adalah gadis itu. Padahal dia saudara kembar saya. Namanya Arimbi Sasikirana.”

Satya terkejut. Dia tidak menduga jika Sasi memiliki saudara kembar. Apalagi gadis yang pernah menolong neneknya waktu itu ternyata bukan Sasi. Melainkan Arimbi, saudara kembar Sasi.

Kala itu, Arimbi pergi begitu saja setelah berpamitan. Satya yang berniat mengantar, ditolak tegas oleh gadis itu. Satya bahkan tak sempat bertanya siapa namanya. Saat bertemu Sasi di Media Cahaya Hati, dia pikir, Sasi adalah gadis yang sama yang belum sempat dikenalnya itu.

Pantas saja Sasi tidak mengingatnya.
Satya bahkan sempat heran dengan Sasi yang begitu mudah melupakannya, padahal kejadian di Malioboro itu baru sekitar dua bulan sebelum bertemu Sasi untuk pertama kalinya di Media Cahaya Hati. Saat itu, dia tidak sampai berpikir jika Sasi memiliki saudara kembar. Bukan hanya sekadar kembar, bahkan rupa mereka begitu mirip satu sama lain dengan gigi gingsul di kedua sisi. Nyaris tidak ada perbedaan antara keduanya.

“Tadi, saya nggak sengaja baca tulisan Mbak Arimbi di buku diary yang ada di handphone-nya, Dok. Saya baru tahu kalau kalian pernah bertemu sebelumnya.” Sasi memberi jeda sebentar untuk mengambil napas. “Dari buku harian itu, akhirnya saya tahu bagaimana perasaan Mbak Arimbi untuk dokter Satya. Asal dokter tahu, Mbak Arimbi itu sudah menyukai dokter sejak pertama kali kalian bertemu.”

Satya tertegun. Pertemuannya dengan Arimbi baru sekali, bahkan mereka berbicara tak lebih dari lima belas menit. Mengapa gadis itu langsung bisa menyukainya?

“Inilah alasan saya meminta dokter untuk datang ke sini lebih awal,” jelas Sasi dengan suara pelan.

Satya kembali menatap Sasi, menunggu gadis itu meneruskan kalimat lain yang mungkin akan dikatakannya. Satya masih mengingat dengan jelas, bagaimana Sasi meneleponnya tadi, lalu meminta bertemu—ditemani ayah dan kakak sulungnya, rasanya tidak mungkin jika Sasi hanya membicarakan soal ini saja. Pasti ada hal lainnya. Sesuatu yang sangat penting. Entah apa itu.
 
Satya sontak menelan ludah begitu menyadari sesuatu yang mungkin akan diputuskan Sasi.

“Saya ... saya nggak mungkin menikah dengan dokter Satya ....”

Satya terkesiap. Benar dugaannya. Sasi berniat membatalkan pernikahan mereka.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang