"Ma-af ...," suara Pratiwi yang terdengar sengau dengan terbata mengucap maaf saat Sasi memutar engkol untuk menaikkan bagian kepala ranjang.
Sasi menghentikan gerakannya sejenak. Gadis itu menghela napas pelan. Entah berapa kali ibunya mengucap kata 'maaf' kepadanya. Padahal dia masih kesulitan berbicara meski sudah menjalani speech therapy.
"Apa Ibu nggak bosan bilang maaf terus?" tanya Sasi pura-pura manyun sembari membenahi posisi bersandar ibunya agar lebih nyaman.
Pratiwi menggeleng kecil. "Ma-af ...," ulangnya lagi.
Sasi mendesah pelan. Didudukkannya pantat di sisi ranjang ibunya. Sasi menggenggam tangan Pratiwi lembut. "Kalau Ibu bilang maaf terus, Sasi malah jadi tambah sedih. Sudah jadi kewajiban bagi seorang anak untuk berbakti pada ibunya. Ibu sama sekali nggak ngerepotin Sasi. Dulu, waktu kecil malah Sasi sering ngerepotin Ibu, 'kan?"
Pratiwi menggeleng lagi. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Ibu memang nggak pernah melahirkan Sasi. Tapi bagi Sasi, Ibu tetaplah ibuku. Sasi hanya nggak ditakdirkan untuk berada di dalam rahim Ibu. Hanya itu saja," ungkap Sasi pelan. Kornea matanya tampak berkabut. "Ibu yang selalu menyisihkan uang belanja untuk membelikanku buku-buku. Ibu yang mengajariku untuk jadi anak yang percaya diri. Ibu juga yang menjadikanku bisa sekuat ini."
Sasi menatap ibunya lekat. "Sasi bersyukur memiliki ibu seperti Ibu," senyum Sasi mengembang, "ibuku selalu hebat di mataku. Saat orangtua yang lain akan memanjakan anak semata wayangnya, Ibu justru memilih untuk nggak memanjakanku. Ibu menyayangiku dengan caranya sendiri. Itu membuatku semakin bangga memiliki ibu seperti Ibu."
Pratiwi tak kuasa menitikkan air matanya. Andai lidahnya tidak terasa kaku, ada ribuan kata yang ingin dia ungkapkan pada Sasi. Namun, hanya buliran air bening yang terus berlompatan dari pelupuk matanya. Dia tergugu. Apa yang dikatakan Sasi justru semakin mengoyak kalbunya sebagai ibu. Seharusnya Sasi bisa hidup lebih baik saat gadis itu diasuh oleh orangtua lain. Bukan malah semakin membuatnya dalam kesulitan, pikir Pratiwi.
Sasi menghapus air mata ibunya yang berleleran di pipi. "Kalau Ibu nangis gini, Sasi malah jadi pingin nangis, Bu." Sasi meraih tubuh berisi Pratiwi, memeluknya hangat. "Jangan katakan maaf lagi, Bu. Sampai kapanpun Sasi akan selalu menyayangi dan mencintai Ibu," ucap Sasi lirih.
Bendungan air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jebol juga. Sasi akan terus memeluk ibunya hingga buliran bening itu mereda. Gadis itu berusaha menahan isakan. Dia tidak ingin ibunya tahu jika dirinya pun tengah menangis saat ini.
***
Arsal meletakkan majalah kuliner yang tadi dibacanya saat Ilham sudah duduk di depan meja kerja. Lelaki itu meletakkan kedua tangan di atas meja.
"Kenapa Bos memanggilku?" tanya Ilham to the point. Hubungannya dengan Arsal memang lumayan dekat. Pribadi Ilham yang supel membuatnya cepat akrab dengan siapa pun. Termasuk Arsal yang berkarakter perfeksionis sekalipun.
"Apa kamu tahu kenapa Sasi bisa ada di rumah sakit?" Arsal tampaknya juga tidak ingin berbasa-basi.
Dahi Ilham berkerut. "Rumah sakit?"
Arsal menghela napas. "Aku kemarin lihat dia duduk di kursi taman rumah sakit. Apa ... ada keluarganya yang dirawat di sana?"
Ilham mulai mengerti maksud pertanyaan Arsal. Dia mengangguk paham. "Ibunya Sasi memang dirawat di rumah sakit."
Arsal tergemap. "Sejak kapan?"
"Kira-kira ... hm ... sudah dua minggu-an ini sepertinya." Ilham berusaha mengingat-ingat kapan pertama kalinya ibu Sasi dirawat di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Call Box (Completed)
RandomAyudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya bekerja. Lelaki itu bernama Arsal Aldiano Mahendra, pria menyebalkan yang tidak punya perasaan kare...