Enam Belas

59.6K 8K 334
                                    

Biasakan vote sebelum membaca. 😂

Pada kangen Arsal, ya? Nih, keluar dia. 😅

-------------

Pandangan Sasi menekuri puluhan kotak makan yang berjajar memenuhi lemari pajangan di ruang tamu. Setelah ibunya meninggal, Sasi terpaksa mengeluarkan perabot rumah tangga simpanan ibunya, lalu menyimpannya sementara waktu ke dalam kardus. Kotak makan berbahan stainless steel beraneka warna itu pasti berharga mahal. Sasi berniat mengembalikannya suatu saat nanti. Namun, dia masih menundanya karena bingung bagaimana caranya memulangkan kotak makan sebanyak dua puluh tujuh buah—dan juga beberapa botol minum—itu kepada empunya.

Meskipun Sasi sudah yakin siapa pengirimnya, dia tidak mungkin mengirimkannya langsung ke alamat rumah lelaki itu. Bagaimana jika dia terkejut karena pada akhirnya Sasi tahu dengan sendirinya? Atau jangan-jangan tindakannya yang mengembalikan kotak-kotak makan itu justru malah menyinggung lelaki itu?

Sasi masih mengingat betul bagaimana air wajah lelaki itu saat mereka berpapasan di lobi dua hari lalu. Raut mukanya tampak murung. Ketika mata mereka tak sengaja bersirobok, lelaki itu hanya menundukkan kepala sekilas lalu segera berlalu. Dalam seminggu ini—setahu Sasi—dia memang hanya sesekali ke Media Cahaya Hati. Tidak seperti sebelumnya yang selalu datang setiap hari—kecuali hari libur.

Sasi memandangi kembali kotak tiga susun berwarna biru muda yang berada di balik kaca lemari. Itu adalah kotak makan terakhir yang dikirimkan lelaki itu. Setelah kotak itu, tidak ada lagi kotak makan yang selalu datang tiap kali Sasi siaran saat jam siang. Kemarin saja, ketika ban motor Sasi kempes lagi—sehabis pulang dari siaran pukul tiga sore, tidak ada sosok yang diam-diam menolongnya. Saat menuntun motornya, berkali-kali Sasi menoleh ke belakang. Barangkali dari arah belakang, datang tukang tambal ban yang dikirim lelaki itu. Namun, hingga sekilo perjalanan, tukang tambal ban itu tidak juga muncul seperti saat sore hari itu.

"Kenapa aku jadi merasa bersalah sama dia karena sudah memilih dokter Satya?" gumam Sasi menatap sayu pada kotak-kotak makan itu.

Apa yang dikatakan Hania hari kemarin semakin menambah kegalauan Sasi. Hania memang sudah tahu jika dia sudah menerima pinangan Satya karena wanita berbadan lebar itu ikut menemaninya ke Klaten.

"Aku kok jadi kepikiran kalau orang misterius itu nggak kunjung muncul bukan karena dia nggak serius. Mungkin dia hanya menunggu waktu yang tepat saja," kata Hania saat Sasi menyantap bekal makan siang yang dia bawa dari rumah. Setelah tidak dikirimi lagi, Sasi berinisiatif membawa bekal makan siang sendiri.

"Bagaimana kalau dia sebenarnya juga pingin ngelamar kamu, Sas? Mungkin dia hanya kalah cepat dengan dokter Satya."

Kalimat yang dilontarkan Hania itu sukses membuat Sasi bertambah galau. Saat Sasi dipinang Satya lewat Ustaz Fauzan, dia memang tidak bercerita pada Hania. Sasi baru memberitahu Hania, sehari setelah dia menerima pinangan Satya. Sasi tidak punya pilihan lain untuk berterus terang pada Hania lebih dulu karena dia butuh teman untuk menemaninya ke Klaten saat keluarga Satya datang melamar secara resmi seminggu yang lalu. Berada satu pesawat dengan keluarga Satya membuat Sasi merasa canggung. Kehadiran Hania setidaknya mampu mengusir kekikukan saat dia diajak berbicara dengan ibu Satya.

Sasi mendesah pelan. Dia tidak akan menyalahkan Hania, kenapa temannya itu baru berbicara soal itu setelah dia sudah menerima pinangan Satya. Mungkin ini yang dinamakan ujian di kala seseorang sudah memutuskan pilihannya.

Sasi sudah mantap memilih Satya. Saat melakukan shalat istikharah pun, semakin hari Allah semakin meyakinkan jawabannya. Meski belum tumbuh rasa dengan lelaki itu, dia yakin Allah yang akan tumbuhkan ketika sudah menikah nanti. Lagipula, jika ada pria sholeh yang datang meminangmu, kenapa pula harus menunggu seseorang yang belum tentu melamarmu? Sasi harus realistis. Dia tidak mau terjebak dalam ketidakpastian. Satya adalah lelaki baik. Dia juga bertanggung jawab. Dan kadar shalehnya tidak diragukan lagi. Alangkah bodohnya jika ada wanita yang sampai menolak lamarannya.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang