20. Perpisahan

129 19 14
                                    

Di sebuah rumah sederhana, Safa duduk dengan kaki gemetar dan tangan mencekram tas yang berada dipangkuan. Ruang tamu rumah itu menjadi saksi, Safa yang kini sakit hati. Mendengar penuturan orang tuanya, bahwa ia tak bisa melanjutkan kuliah dan mengharuskannya menikah.
Jangankan menikah, pacaran saja masih tabu baginya. Di dalam dunianya, yang paling penting adalah nilai pelajaran dan bagaimana cara menjawab soal dengan benar.

"Ayahmu dipecat tiga bulan yang lalu, mencoba mencari pekerjaan tapi hasilnya nihil. Tahun ini adikmu masuk SMP, pilihan yang sulit untuk kami. Apa ka.u tetap ingin kuliah? Sedangkan adikmu berhenti dikelas 6 SD?" tutur sang Ibu tenang, yang berhasil membuat wajah Safa banjir air mata.

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku, kalau ayah dipecat? Kalau aku tahu, aku tidak perlu mati-matian untuk mendapatkan ini." Safa menunjuk piala yang berada di meja.

"Ka.u berangkat jam enam pagi, dan pulang jam enam sore, setelah makan dan mandi kamu masuk kamar, saat ibu ingin bicara, ka.u sudah tidur. Sadarlah Safa, akhir-akhir ini kamu seperti robot, kamu terobsesi sesuatu yang tidak mungkin." Ibu mencoba menyadarkan Safa.

"Mungkin bu! Aku pintar. Aku yakin dapat bea siswa, aku ingin kuliah, aku ingin jadi guru." serak Safa menatap memohon pada orang tuanya.

"Kamu pikir bea siswa mencakup semuanya!" bentak sang Ayah, membuat Safa terkejut.

"Pahamilah, saat ini keluarga kita sedang ada di bawah, pilihan terbaik adalah menikah." lanjut Ayahnya lebih tenang, seolah menyesali ia telah membentak putrinya.

"Pada akhirnya wanita akan ke dapur, setinggi apapun sekolahmu, ingatlah kondratmu, kamu akan jadi istri dan dapur adalah tempatmu." lanjut sang ayah kembali tegas.
Air mata Safa yang mulai kering dipipinya kembali berderai. Menyadari cita-citanya hanyalah sekedar mimpi.
Belum usai luka Safa karna ucapan orang tuanya, kini semakin perih saat mendengar kedatangan pria yang dijodohkan dengannya.
Damar anak kepala desa, bertamu membawa buah-buahan.
Safa menghapus air matanya perlahan, mencoba menguatkan hatinya untuk menatap pria itu.
Saat pandangan mereka bertemu, Safa menatap benci, jika mata itu dapat bicara, mungkin ia telah berujar akan mencakar wajah yang memberikannya senyuman itu.

Pemberontakan Safa tak sekedar tatapan tajam, tanpa permisi ia bergegas ke kamar seolah di ruangan itu tidak ada Damar.

Safa membanting pintu kamar, di balik pintu ia bersandar dan sayup-sayup mendengar ucapan Damar.

"Kalau Safa belum siap, kita bisa tunda beberapa bulan lagi. Izinkan saya dekat dengan Safa, pasti dia akan menerima saya."

***

Hari berganti, Safa masih diam didalam kamar dengan piring kosong di atas meja belajar.
Safa memang marah, tapi akal sehatnya masih berjalan. Karena ia tahu, mencari solusi butuh perut kenyang.
Safa tetap tak akan mau menyerah dan menikah di usia 18 tahun. Ia bertekat akan menemukan cara, meski kepalanya seperti mau pecah, karena ini masalah besar untuk gadis seusianya.

Ia mengambil nafas dalam-dalam, mencoba untuk tenang, lalu mengambil foto saat berkemah yang berisi sepuluh siswa. Safa terkejut, ia ingat hari ini ada janji bertemu Oreon dan Nala untuk membicarakan dimana mereka kuliah nanti.
Safa membalik foto itu, lalu meletakkan di meja dalam keadaan tertutup. Ia malu mengatakan yang sebenarnya pada sahabatnya.

Jam dinding terus berputar, detik berganti menit, Safa masing menimbang-nimbang. Berfikir, haruskah dia datang?

***

Di kantin di pinggir jalan Segitiga Pintar, Nala dan Oreon menunggu.

Duduk dengan resah, empat gelas di hadapan mereka sudah kosong.

REUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang