Pada saat itu Jeffrey hampir kehilangan kendalinya. Jeffrey tidak pernah merasa direndahkan seperti ini oleh seorang wanita. Dan Ema membuatnya begitu marah. "Lepasin ih sakit tahu!" Ema menarik tangannya dari Jeffrey dan laki-laki itu berhasil membawanya keluar dari ruangan Athena. Memperbaiki jasnya sedikit kasar setelah melepas tangan wanita itu.
Jeffrey menatap Ema dengan rahang yang mengeras bersiap mengeluarkan kata-kata kasarnya. Inget, dia sepupu atasan lo. Lo marahin dia, ditendang lo dari perusahaan. Dan hidup lo ngegembel di jalanan. Mau makan, mesti ngubek-ngubek sampah dulu. Mau lo kayak gitu?
Nggak anjir. Muka gue nggak pantas jadi gembel.
Yaudah sana baikin. Sok punya harga diri lo.
Maka kembali Jeffrey menghela napas. Lalu mencoba berbicara dengan tenang.
"Mari saya antar ke bawah."
Ema tidak menurut dan mengambil duduknya di sofa yang tersedia di sana. "Aku mau nunggu Athena di sini aja."
Kesabaran gue mulai menguap lagi rasanya.
"Ibu Athena sedang tidak bisa diganggu. Saya akan membuat jadwal kosong jika Anda benar-benar ingin berbicara dengannya besok." Jeffrey mendekat dan Ema menghentikannya dengan tangan wanita itu.
"Jangan dekat-dekat. Aku anti sama cowok pakai jas."
Terus tadi lo cium gue kayak gimana kalau nggak deket-deket dulu?!
Jeffrey menutup matanya sebentar hanya untuk meredakan emosinya sendiri. Kemudian dia melihat Roni salah satu office boy yang memiliki kartu khusus datang membawa secangkir kopi untuk Athena. "Ron," panggil Jeffrey lalu mengajak laki-laki itu mendekat kepadanya. "Kesini sebentar."
Roni mendekat dan menatap heran kepada ujung bibir Jeffrey yang terlihat merah seperti bekas lipstick. Dia ingin bertanya, tetapi ketika melihat Ema yang duduk angkuh di sana, maka otaknya sedikit berpikir biru. "Ada apa, pak?" tanya Roni kemudian.
"Wanita ini tidak suka pria ber jas dekat dengan dia," Jeffrey memulai kata-katanya dengan pandangan sedikit kesal ke arah Ema. "Saya menghargai keinginannya, jadi saya ingin kamuㅡdengan baju yang tidak ber jas itu, membawa dia ke ruang tunggu khusus tamu di lantai empat. Bisa?"
"Bisa, pak. Tapi iniㅡ" Roni menggantungkan kata-katanya dan menunjukkan nampan berisi cangkir kepada Jeffrey. Jeffrey lalu mengambil itu dan berkata. "Kamu bisa bawa dia sekarang. Seret aja kalau perlu." Jeffrey merendahkan suaranya di kalimat terakhir.
Roni lalu membawa Ema dengan sedikit paksa. Layaknya seperti seorang Ibu tiri, Jeffrey tersenyum melihat Ema meronta dan berteriak meminta untuk dilepaskan. Bagus, bagus. Jeffrey mengangguk kepada Roni yang begitu mahir menyeret Ema yang hampir tersandung dengan sepatu hak tingginya.
Tapi seorang pangeran berkuda putㅡbukan, Doni datang menghentikan adegan drama itu dan Athena yang telah berdiri di samping Jeffrey mengerut heran. "Ada apa ini, Jeff?"
Jeffrey menggeleng, "Saya nggak tahu, bu."
Roni lantas mengerutkan dahinya tidak terima. Dia ingin menyanggah tapi Doni terlebih dulu bersuara nyaring kepada Ema. "Lo tuh ya, heran gue. Dari zaman kuliah nggak berubah-rubah."
Athena memijit pelipisnya ketika melihat Doni mengeluarkan kata-kata lo-gue di depan Ema dengan suara seperti seorang ibu-ibu. Itu mengingatkannya dengan masa dimana Ema dan Doni dulu ketika kuliah yang sering bertengkar di rumahnya hanya karena merebut psp miliknya. Ya Tuhan...
"Apaansi lo. Sana minggir! Anti gue sama cowok pakai jas." Ema memandang jijik kepada Doni lalu berkata kepada Athena. "Sekretaris kamu kurang ajar banget. Masa, office boy disuruhㅡ" Doni menutup mulut wanita itu dengan tangannya. "Udah lo nggak usah banyak ngomong. Malu-maluin gue aja. Datang-datang main cium orang."
Doni lalu menatap Athena dari kejauhan dan sedikit menundukkan kepalanya dengan tangan yang memaksa Ema juga melakukan hal yang sama dengannya. "Maaf, bu. Emanya saya bawa ke bawah dulu. Ron, ayo." Doni kemudian menarik Ema tidak peduli wajah wanita itu terlihat nelangsa di depannya dan Roni membungkukkan badan kepada Athena sebelum mengikuti Doni.
"Itu mulut kamu dibersihin dulu, Jeff." Athena memberikan sekotak tisu basah yang dia ambil dari tasnya dan memberikannya kepada Jeffrey. Sekterarisnya itu tersenyum masam dan berkata, "Saya bawa ini ke meja Ibu dulu, ya." Jeffrey menunjukkan nampan berisi cangkir itu dan berjalan ke dalam ruangan Athena.
"Saya minta maaf soal tadi." Athena menatap Jeffrey yang membersihkan mulutnya sendiri. Dan laki-laki itu menatapnya dengan senyum terkesan dipaksa.
"Nggak apa-apa, bu. Saya salah juga nggak berontak tadi malah diam ditempat kayak paskibraka."
"Dan kenapa kamu diam aja? Keenakan?"
Ih tahu dia.
"Enggak, bu."
Athena menunggu jawaban Jeffrey dengan alis terangkat satu.
"Yaㅡ gimana cara jelasinnya ya, bu." Jeffrey memandang ke kiri dan ke kanan dengan gugup. "Saya kan, laki-laki jadiㅡyaㅡkalauㅡ"
Athena kemudian tertawa pelan, "Iya-iya ngerti. Nggak usah kamu jelasin lagi."
Jeffrey selesai dengan membersihkan bekas lipstick di sekitaran mulutnya dan bermaksud untuk menarik diri keluar. Membuatkan sesuatu untuk Ema sesuai apa yang dikatakan Athena sebelumnya. "Saya permisi dulu, bu." Athena mengangguk dan membiarkan sekretarisnya itu keluar.
*
"Lo apaan sih?!" Ema mendengus kesal menarik tangannya dari Doni ketika di dalam ruang tunggu khusus tamu. "Heran gue. Suka banget narik-narik orang seenaknya."
Doni menatap Ema dengan menyalang, "Ya elonya juga nggak bisa diam. Gimana orang nggak narik lo kayak binatang. Lagian lo ngapain juga datang ke sini? Udah adem hidup gue kerja di perusahaan kayak di film-film, lepas dari binal kayak lo. Eh, malah ketemu lo lagi."
"Dia kan sepupu gue. Jelaslah gue bakal ke sini sewaktu-waktu! Lagian ya, gue ke sini juga ada urusan penting." Ema menyilangkan kedua tangannya ke depan dengan angkuh dan membuang muka.
Doni memijit pelipisnya frustasi. "Mana ciumin cowok lagi. Aduh lo yang gitu kok guenya yang malu coba."
"Suka kali lo sama gue."
Dan Doni kembali menatapnya penuh benci mulutnya bahkan sudah mulai mencibir tidak jelas.
"Suka-suka! Nih makan nih ketek gue!" Doni mengikat leher Ema dengan tangannya dan mengarahkan wajah wanita itu tepat di depan ketiaknya.
"Bau bangsat!" Ema tidak peduli dengan kata-kata kasar yang baru saja dia lontarkan. Tangannya dia arahkan menuju rambut belakang Doni dan menjambaknya dengan kuat hingga laki-laki itu mendongak ke belakang.
"Sakit sialan!" Doni menggeram dan Ema semakin menariknya. "Mampus lo! Biar lo botak!" Ema tidak peduli berapa helai rambut Doni yang sudah ada di tangannya. Itu tidak sebanding dengan wajahnya yang ditempel tepat di ketiak laki-laki itu.
"Seumur-umur, gue baru lihat ada pertandingan gulat di kantor. Gulat campuran pula." Itu adalah suara Wandi yang menatap keduanya dari pantulan kaca di luar ruang tunggu. Bersama Jeffrey di sampingnya yang membawa nampan berisi minuman dari produk perusahaan Caridad dan beberapa karyawan yang juga ikut menyaksikan. "Ya kan, Jeff?" Wandi melihat ke arah Jeffrey dan sekretaris itu mengangguk pelan.
"Ini kalau publik tahu gimana, ya?" Jeffrey masih menatap pertandingan gulat itu yang sekarang berubah posisi dimana Ema menaiki punggung Doni dan mencekiknya di sana.
"Yang pasti, Doni di keluarin. Terus lo bakal sibuk buka pers lagi di depan wartawan dengan topik bahwa itu hanya kecelakaan tidak sengaja."
"Gitu, ya? Gue dong yang ujung-ujungnya repot."
Wandi mengangguk.
"Biarin jangan?" tanya Jeffrey.
Wandi membalas, "Biarin. Sesekali jahat sama teman itu nggak apa-apa. Lumayan buat jadi hiburan karyawan yang lain juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRETARY
RomanceBukan, ini bukan cerita cowok jadi CEO dan cewek jadi sekretarisnya. Tapi ini kebalikannya. y e l l o w ㅡ p r o j e c t (1)