28 | Iri

2.1K 168 20
                                    

Cia berjalan pelan dibantu oleh Lerdo menuju ruangan Alice. Matanya memanas melihat kembarannya terkapar tidak berdaya di atas brangkar dengan banyak selang yang berusaha membantunya untuk tetap bertahan.

Lerdo menjelaskan padanya bahwa Alice selamat, tapi keadaannya kritis. Dokter bahkan tidak bisa memprediksikan kapan gadis itu akan terbangun karena tubuh Alice sangat lemah akibat kejadian tadi. Sedangkan Ervin yang menolong Alice ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.

"Kenapa semua orang-orang yang aku sayang bakalan berakhir kayak Alice, Kak?" lirih Cia sembari mengusap kaca yang membatasi dirinya dengan Alice.

Cia tidak ingin masuk ke dalam ruangan Alice karena takut mengganggu gadis itu sehingga mereka hanya berdiri di luar ruangan Alice.

Lerdo tersenyum tipis. "Bukan orang-orang yang kamu sayang aja yang bakalan berakhir seperti Alice, Cia. Setiap orang akan mengalami fase seperti itu. Kamu harus ingat kalau di dunia ini enggak ada yang kekal. Semua pasti akan kembali ke sisi-Nya. Hanya saja waktunya yang berbeda-beda."

"Tapi kenapa harus karena aku, Kak?"

"Alice kayak gitu bukan karena kamu. Semua itu udah takdir, Cia," ucap Lerdo.

Aldri mengembuskan napas lega. Tadinya dia panik karena begitu dia tiba di rumah sakit, Cia dan Lerdo tidak ada di dalam ruangan. Dia menepuk pundak Lerdo membuat kedua orang itu sadar akan kehadirannya di sana.

"Kenapa di sini? Cia belum pulih total, Kak," ucap Aldri.

"Adik kamu yang ngotot mau ke sini," balas Lerdo.

Aldri membelai pelan rambut Cia sembari berucap, "Kita balik ke kamar, ya. Kamu masih belum sehat."

"Enggak mau, Kak. Aku mau lihat Alice," ujar Cia.

"Alice enggak bakalan hilang, Cia. Kalau kamu mau jagain Alice, kamu harus sembuh dulu, oke?"

Perkataan Aldri berhasil membuat Cia menurutinya untuk kembali ke ruangannya. Aldri membantu Cia merebahkan diri di atas brangkar. Aldri menyelimuti gadis itu sebelum berucap, "Jangan terlalu banyak pikir, nanti kamu malah makin sakit."

"David sama Vero enggak ke sini?" tanya Lerdo.

Aldri menggeleng. "Mereka masih tidur. Aku enggak enak banguninnya. Besok kalau mereka udah baca post it yang aku tempel di meja, pasti mereka ke sini."

Baru saja Cia memejamkan mata lima detik, matanya kembali terbuka begitu mendengar suara pintu dibuka dengan kencang. Preston muncul dengan napas yang terengah-engah.

Setelah menarik napas dalam Preston berjalan menghampiri Cia.

"Lo gila, ya? Kenapa lo bisa masuk ke jebakannya Elle?!" ujar Preston kesal membuat Aldri mendorong Preston mundur beberapa langkah.

"Adik gue lagi sakit. Gue harap lo kontrol emosi lo," ucap Aldri.

Lerdo mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas sebelum berucap, "Aldri, kita keluar. Kasih mereka ruang untuk mengobrol."

Aldri langsung mengikuti Lerdo yang keluar tanpa membantah sedikitpun.

Preston menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa degup jantungnya sudah normal, dia mendudukkan dirinya di kursi yang tadinya ditempati oleh Aldri.

"Kenapa diam? Gue ngomong sama lo, Cia," ucap Preston dengan nada yang lebih pelan daripada tadi.

"Gue enggak tahu apa-apa, Ton. Gue lagi tidur terus tiba-tiba ada yang masuk lewat jendela kamar dan gue dibekap. Setelah itu mereka bawa gue ke rumah kosong di belakang sekolah dan ternyata ada Alice, Elle, sama Eluned di sana," jelas Cia.

Alicia 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang