Ekstra Part

4.5K 211 47
                                    

Isakan yang sedari tadi gadis kecil itu tahan lolos begitu saja ketika mendengar suara cicitan tikus. Ia melipat kedua kakinya sebelum mendekapnya erat berharap akan ada seseorang yang berbaik hati membukakan pintu toilet tersebut.

"Mama ... Itre takut," lirih gadis kecil itu.

Gadis kecil itu spontan melompat begitu merasakan ada sesuatu yang berjalan di kakinya. Tangisnya semakin keras menyadari bahwa yang berjalan di kakinya adalah kecoak.

"Jangan kunci Itre di sini, Pa. Itre takut."

"Itreula?" panggil seseorang lembut dari balik pintu.

Seseorang itu berjalan mendekati Itreula sebelum mendekapnya erat. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa anaknya tega memperlakukan Itreula seperti ini. "Jangan nangis lagi, Sayang. Nenek di sini."

Diva menggendong Itreula keluar dari toilet sempit itu. Dia berdecak ketika melihat David terkapar tidak berdaya di lantai ruang tamu dengan banyak botol minuman keras di sekitarnya.

"Itre bisa jalan sendiri ke kamar? Nenek harus bicara sama papa kamu dulu," ucap Diva seraya mengusap puncak kepala Itreula.

Itreula menggeleng pelan. "Nenek jangan ke sana, nanti nenek dipukul sama papa. Papa suka mukulin Itre, Nek."

"Papa kamu enggak bakalan berani pukul nenek, haha. Kamu ke kamar dulu, ya? Nanti nenek pasti ke kamar kamu, kok," ujar Diva membuat Itreula mengangguk dan berjalan ke kamarnya.

Diva mengembuskan napas panjang sebelum mendekati David. Dia menjewer keras telinga David hingga anaknya itu sadar. "Kamu minta mama bunuh, huh? Sampai kapan kamu mau kayak gini terus, David?"

David hanya diam tidak merespons ucapan Diva. Sejak ajal menjemput istrinya, dia benar-benar putus asa. Dia sudah melakukan berbagai cara agar bisa menyusul Cia, tetapi tidak pernah berhasil.

Diva melepaskan jewerannya karena dia merasa apa pun yang dia lakukan hanyalah sia-sia. Anaknya itu tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu.

"Kamu punya Itreula, Sayang. Jangan lampiasin kekesalan kamu sama dia. Dia enggak tahu apa-apa."

David menggeram. "Aku enggak suka mama sebut nama anak itu. Dia itu cuma pembawa sial, Ma. Cia meninggal karena lahirin dia, Ma."

"David!"

"Apa, Ma? Aku bener, Ma. Dia jahat. Seharusnya Cia enggak lahirin dia, Ma," lirih David membuat Diva menarik laki-laki itu ke dalam dekapannya.

"David mau Cia balik, Ma."

***

Itreula mempererat pelukannya pada boneka beruang. Percakapan antara Diva dan David terus berputar di kepalanya selayaknya kaset rusak. Ia tidak sengaja mendengar percakapan mereka ketika ia hendak memastikan David tidak memukul Diva seperti David memukulnya.

Kini ia tahu alasan David sangat membencinya. Ia tertawa hambar sebelum mengusap ujung matanya yang berair. "Maafin Itre, Ma. Harusnya Itre enggak pernah lahir biar kalian tetap bahagia."

Decitan pintu membuat ia menoleh. Ia tersenyum begitu melihat Diva berjalan mendekatinya.

"Itre udah makan?" tanya Diva yang dibalas gelengan pelan Itreula.

"Kenapa belum makan? Ini udah jam tiga, lho. Kapan kamu terakhir makan?" tanya Diva lagi.

Itreula menggaruk tengkuknya yang tidak gatal berusaha mengingat. "Dua hari yang lalu, Nek."

Diva membelalakkan matanya tidak percaya mendengar perkataan cucunya.

"Heh, kamu bisa sakit. Sekarang kamu ikut nenek pergi makan, ya."

Itreula menggeleng pelan membuat Diva bingung. Tidak biasanya cucunya itu menolak ajakannya untuk makan bersama.

"Nanti kalau Itre pergi sama nenek, nenek kena sial," ujar Itreula seraya menundukkan kepala.

Diva menyentil kening Itreula pelan sebelum berucap, "Kamu ngomong apa, sih? Anak kecil enggak boleh ngomong sial-sial."

"Itre dengar, Nek. Papa bilang Itre cuma pembawa sial aja," cicit Itreula.

Diva mengembuskan napas panjang. "Kamu dengar dari mana? Bukannya tadi nenek udah suruh kamu ke kamar?"

"Itre takut nenek dipukul sama papa, jadi Itre mau lihat. Itre enggak mau nenek sakit."

Diva tersenyum sembari mengusap puncak kepala Itreula. "Cucu nenek perhatian sekali, sih. Nenek jadi makin sayang."

"Kamu enggak pembawa sial, Sayang. Jangan pikirin apa yang papa kamu bilang. Papa kamu suka sembarangan ngomong."

"..."

"Itre enggak boleh ngomong gitu lagi, ya? Kalau Itre ngomong gitu, nenek enggak mau sayang Itre lagi. Janji?"

"Janji," ucap Itreula lalu menghambur ke dalam dekapan Diva.

Diva menyudahi pelukan mereka sebelum berucap, "Itre mau lihat foto mama, enggak?"

"Mau."

Diva merogoh ponselnya dari saku celananya. Dia menggulir layar ponselnya mencari album foto Cia dan David. Senyuman terpatri di wajahnya ketika menemukan foto kedua orang itu.

"Mama cantik banget," ucap Itreula membuat Diva terkekeh.

"Karena mama cantik, makanya kamu juga cantik."

Itreula mengambil ponsel Diva untuk melihat lebih jelas wajah Cia dan David. Hanya dari foto, ia bisa melihat betapa bahagianya David ketika bersama Cia. Sudah lama ia tidak melihat David tersenyum seperti itu.

"Nenek."

"Iya?"

"Apa bisa kalau Itre minta ke Tuhan buat gantiin Itre sama mama?" tanya Itreula.

"Maksud kamu? Nenek enggak ngerti."

Itreula tersenyum. "Itre pengin mama yang ada di sini. Itre pengin papa senyum lagi bukannya marah-marah aja. Itre mau tukeran posisi sama mama biar papa bisa senang."

Tangis Diva pecah begitu saja mendengar ucapan polos Itreula. Setelah semua yang dilakukan David kepada Itreula, gadis kecil itu tetap menyayangi David. Awalnya dia berpikir bahwa Itreula akan membenci David, tetapi ternyata pemikirannya melesat.

"Kenapa nenek nangis?" tanya Itreula mengerjapkan matanya lucu.

"Enggak papa. Nenek sayang Itreula."

"Itre juga sayang nenek. Nenek jangan pergi, ya. Itre enggak punya siapa-siapa," ucap Itreula.

***

Pendek, ya? WKWK. Mungkin dari sini kalian udah mulai bisa menebak kisah Itreula ke depannya kayak gimana, tapi semoga kalian tetap mau baca. Jangan lupa mampir ke cerita aku yang lain karena Itreula bakalan aku publish Januari☀️

Alicia 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang