31 | Azalea

2K 161 44
                                    

Diva mengusap puncak kepala Cia membuat gadis itu merasa nyaman. Sosok keibuan Diva membuat dirinya teringat dengan Lauren. Dulu Lauren selalu mengusap puncak kepalanya ketika ia sakit atau merasa khawatir.

"Selain leher, apa yang sakit?" tanya Diva lembut.

Cia tersenyum sembari berucap, "Enggak ada, kok, Tan."

"Kamu enggak ada niat buat balik ke Surabaya, Sayang?" tanya Diva lagi.

"Untuk saat ini kayaknya enggak, deh, Tan. Walaupun Dad sekarang udah enggak ada, aku tetap bakalan nepati kesepakatan hari itu," ujar Cia.

Diva mengangguk. Dia mengecup kening Cia singkat sebelum berucap, "Tante bakalan dukung semua keputusan kamu. Gimana hubungan kamu sama David sekarang? Dia masih jahat?"

"Gimana apanya, Tan?" kekeh Cia.

Cia melirik David yang tertidur di sofa. Wajah laki-laki itu polos sekali ketika tidur membuatnya gemas. Tanpa ia sadari sebuah senyuman melengkung di bibirnya, ia rindu saat mereka masih terikat dengan sebuah hubungan.

"Iya, gimana hubungan kalian? Masih jadi mantan, nih?"

Cia hanya menyengir membuat Diva menggelengkan kepala.

"Kalau kalian nyaman dengan status kalian yang sekarang, enggak masalah. Soal perjodohan itu, tante serahin semuanya ke kamu. Aldri dan Lerdo juga bilang semua bergantung pada kamu."

"Aku ...."

"Tante tahu perasaan kamu, Cia. Tante enggak akan maksa kamu untuk membuat keputusan sekarang. Tante yakin kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya secara matang," ucap Diva.

"Makasih, Tante."

***

Ezra mendengkus melihat Preston yang dari tadi asik bergurau dengan Aliya. Dia tidak tahu sejak kapan kedua orang itu menjadi dekat. Dia menimpuk wajah Preston dengan bungkusan chiki yang sudah kosong membuat kedua orang itu menoleh.

"Kapan lo pulang, sih? Betah amat jadi nyamuk," ucap Preston santai.

Ezra menaikkan sebelah alisnya. "Lo udah pindah hati? Cepet banget."

"Untuk saat ini belum, tapi mungkin aja besok udah. Gue enggak mau terus-terusan berada di titik yang sama. Mencintai milik orang lain sama dengan halnya lo menghancurkan diri lo secara perlahan," ucap Preston membuat senyuman tipis menghiasi wajah Aliya.

Aliya memungut bungkusan chiki itu sebelum kembali melemparkannya ke Ezra yang langsung ditangkap oleh laki-laki itu. "Mendingan lo juga pindah hati daripada lo cinta sendiri. Gue yakin Kak Cia masih sayang banget sama mantannya."

Ucapan Aliya berhasil menyentil relung hati Ezra. Laki-laki itu langsung berdiri dan meninggalkan rumah Preston tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Sepertinya laki-laki itu perlu udara segar untuk berpikir lebih jernih.

Motor merahnya berhenti setelah melesat selama dua jam. Dia memarkirkan motor tersebut dengan hati-hati sebelum berjalan ke balik semak-semak. Dia tersenyum tipis begitu melihat tempat itu masih seperti dulu.

Kakinya melangkah pelan menuju pinggiran danau yang jernih itu. Dia mendudukkan diri di pinggir danau sebelum mencelupkan kakinya. Dingin ... itulah yang dia rasakan, walaupun begitu dia tidak berniat untuk menarik kakinya dari sana.

Dia malah menggerak-gerakkan tangannya di dalam air membuat air menciprati wajahnya. Dia menghela napas panjang sebelum berucap, "Cari cewek lain, ya? Kayaknya enggak segampang itu, deh."

Dia merogoh ponselnya yang bergetar dari saku. Kedua alisnya bertautan begitu melihat pesan yang masuk dari Alvin.

Alvin F
Tiga bulan lagi bakalan ada acara Graduation, gue pengin lo, Cia, Preston sama beberapa anak lainnya tampil. Bisa?

Ezra Addis
Gue, sih, bisa aja. Coba lo tanya ke yang lainnya, ya

Ezra kembali menyimpan ponselnya. Tampil di acara graduation bersama Cia sepertinya ide yang menarik. Senyuman lebar terukir di bibirnya begitu merasa itu kesempatan yang bagus. Biasanya perempuan akan suka dengan laki-laki yang berani di depan umum, sepertinya itu hari yang tepat untuk menyatakan cintanya pada Cia.

Dalam sekian detik, senyumannya memudar. Bagaimana jika nanti Cia sudah kembali bersama mantannya sebelum acara tersebut berlangsung? Dia mengembuskan napas kasar. Dia akan mencoba semampunya.

Jika memang Cia bukan untuknya, sepertinya dia akan berusaha melepaskan gadis itu selayaknya Preston yang mulai mencoba menerima kehadiran Aliya di samping laki-laki itu. Rasa iri itu kembali menjalar di hatinya.

Preston tidak bisa memiliki Cia, tetapi laki-laki itu masih memiliki Aliya yang begitu menyukainya. Sedangkan dirinya? Dirinya tidak memiliki siapapun. Dia tertawa miris. Dari dulu hingga sekarang, keadilan tidak pernah berpihak padanya. Dia selalu sendiri dan mungkin selamanya akan seperti itu.

Sebuah telapak tangan melambai di depannya membuat dia terkejut bukan main.

"Enggak bagus melamun apalagi kamu lagi sendirian, nanti kesambet baru tahu rasa," kekeh gadis itu membuat Ezra menoleh.

Ezra menaikkan sebelah alisnya. Dia pikir tidak ada yang mengetahui tempat seindah ini selain dirinya, tetapi ternyata ada.

"Kenapa? Kamu kaget, ya, lihat aku?" tanya gadis itu.

"Ya, gue pikir cuma gue yang tahu tempat sebagus ini," jawab Ezra.

Gadis itu mengernyitkan keningnya sebelum berucap, "Gue itu apa?"

Ezra melongo mendengar pertanyaan gadis itu.

"Lo enggak tahu arti gue?"

"Lo itu apa?" tanya gadis itu lagi.

Ezra menghela napas sebelum berdiri dari tempatnya. Kedua matanya lekat menatap kedua kaki gadis itu. Dia tidak melihat ada sedikit luka pun di kaki gadis itu, tetapi kenapa gadis itu menggunakan kursi roda?

"Kata mama, dulu pas aku umur lima tahun, aku pernah kecelakaan. Sejak itu, kaki aku enggak bisa digerakin sama sekali," ucap gadis itu—Azalea—seakan bisa menjawab pertanyaan Ezra.

Ezra mengangguk. "Lo itu artinya kamu sedangkan gue itu artinya aku. Jadi, kenapa lo bisa di sini?"

"Aku setiap sore memang ke sini karena aku bosan di rumah. Mama selalu pulang malam dan aku enggak dikasih pergi jauh-jauh dari rumah," ujar Azalea.

"Berarti rumah lo dekat sini?" tanya Ezra membuat Azalea menunjuk rumahnya yang berdiri di balik pohon mangga besar itu.

Ezra berdecak kagum. Sepertinya tempat kesukaannya kini sudah banyak diketahui oleh banyak orang, buktinya kini sudah ada beberapa rumah megah yang berdiri di dekat sana.

"Kalau lo bosan, kenapa enggak main sama tetangga-tetangga lo?" tanya Ezra.

Azalea menggelengkan kepala. "Mereka enggak mau temanan sama aku karena katanya aku aneh. Lagian, mana ada yang mau temanan sama aku yang cacat ini?"

"Hush, lo enggak boleh ngomong gitu," desis Ezra.

Derap langkah kaki yang mendekat ke arah mereka membuat Ezra menoleh ke belakang. Keningnya berkerut ketika melihat siapa yang sedang berjalan menghampiri mereka.

"Kakak," seru Azalea senang seraya menggerakan kursi rodanya mendekati laki-laki itu yang menenteng dua plastik makanan.

Laki-laki itu memeluk Azalea tanpa memedulikan tatapan terkejut Ezra.

"Kakak ke mana aja? Aku kangen banget. Kakak jahat enggak pernah ke sini," lirih Azalea membuat laki-laki itu mengacak rambutnya gemas.

"Kamu lupa, ya? Kakak kan enggak tinggal di Jakarta, jadi pasti jarang buat ketemu kamu," ucap laki-laki itu.

Ezra berjalan mendekati kedua orang itu dengan banyak tanda tanya yang berputar di kepalanya. Ini aneh ... seingat dia, Cia hanya memiliki satu saudara perempuan dan itu adalah Alice. Lalu mengapa gadis baru yang dia temui memanggil laki-laki itu dengan sebutan kakak?

***

Selamat malam minggu🥳 Kenapa aku baru publish sekarang? Soalnya aku dari tadi sibuk ngedate🤪 Enggak, deng, boro-boro ngedate. Pacar aja jauh di mata. Terima kasih atas keantusiasan kalian untuk menunggu cerita ini❤️

Alicia 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang