Bab 8| Rumah bersama Affan

3.7K 140 0
                                    

"APA YANG KAK AFFAN INGINKAN? MENGAPA DIA MELAKUKAN INI? AKU HANYA PELAMPIASAN BAGINYA!!! ucapku sambil berteriak, air mataku menghujani pipiku

Tak ada yang bisa menenangkanku, aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Mengapa aku hanya dijadikan pelampiasannya saja, apa dia lupa ucapannya padaku bahwa kami berdua akan belajar saling mencintai.

Malam ini adalah malam bersejarah untukku karena aku telah ridho memberikan semuanya untuk suamiku tetapi tidak untuknya, semua ini hanyalah keisengan untuknya semua ini tidak berarti apa-apa untuknya. Aku terus menangis sepanjang malam dan berteriak jika aku tak mampu lagi menahan emosiku. Aku melemparkan semua bantal yang telah kurapikan ke segala arah dikamar ini.

Aku tertidur dengan posisi duduk memeluk lututku di lantai kamar. Batinku tersiksa.

Alarmku berbunyi menandakan pukul 04:00 WITA, aku bangun dengan langkah yang masih sempoyongan menuju kamar mandi untuk mandi kemudian mengambil air wuduh. Di sujud terakhir dalam sholatku aku berdoa untuk keselamatan suamiku dan tolong jaga hati ini agar tetap kuat.

Aku tak boleh menyerah karena aku adalah istri sahnya, dia adalah milikku seutuhnya dihadapan Allah dan hukum. Tak ada seorangpun yang berhak atas suamiku selain aku dan ibunya. Aku terus memikirkan hal-hal positif untuk menenangkan hatiku yang gusar karena sikap Affan semalam.

Sesudah sholat subuh aku melanjutkan tidurku tanpa melepaskan mukenah. Aku sangat lelah menangis semalaman dan terbangun ketika mendengar suara mobil Affan datang.

Aku segera bangun membuka mukenah dan merapikan bantal-bantal yang telah kulempar semalam, aku tak ingin Affan tahu semua kegilaanku ini.

Ku balas salamnya yang masuk kedalam rumah, tadi malam dia mengunciku dari luar jadi aku tak perlu membukakan dia pintu. Ku ambil jilbab instanku dan menuju keluar menemuinya.

Melihatku, ekspresi wajahnya berubah. Dia melepaskan kresek yang berisi dua bungkus makanan dari tangannya, dia mendekat ke arahku, memegang pipiku dan kemudian memelukku erat. Aku hanya diam membisu pun tidak membalas pelukannya, rasa perih semalam kini muncul lagi dipermukaan hatiku.

"Aku minta maaf wi" ucapnya menangis terguguh dan mengusap kepalaku.

Aku masih mematung, tatapanku kosong ke depan, fikiranku melayang-layang aku merasa begitu banyak beban yang berkecamuk.

Beberapa kali ku tarik nafasku untuk menghilangkan sesaknya.

"Aku harus memaafkannya karena aku sudah berjanji" batinku sambil memejamkan mataku agar beban ini segera hilang dari hatiku, aku harus berdamai.

Beberapa detik kemudian kegerakkan tanganku untuk membalas pelukannya, dia memelukku dengan erat. Ini semua menyakitkan. Sabar itu sulit karena menyakitkan tetapi buahnya sangat manis, ku coba mengingat-ingat quote yang pernah ku baca agar aku bisa tetap mengendalikan diriku.

"Kak, ini rumah tangga atau rumah duka sih?" Candaanku padanya agar bisa menetralisirkan suasana.

"Rumah-rumahan" ucapnya dengan suara yang serak.

"Rumah-rumahan semut?" Jawabku sambil mencubit-cubit pelan punggungnya.

Dia tertawa karena merasa geli dan melepaskanku dari pelukannya, dia menatap dan aku tersenyum padanya.

"Wi tadi malam kamu habis nangis ya? Matamu kelihatan sembab dan bibirmu pucat" ucapnya mengelus-elus mata dan bibirku.

"Iya, aku takut sendirian" jawabku singkat dan itu membuatnya memelukku lagi

"Wi, hpku mana?" Tanyanya kepadaku

"Disamping bantal, tadi malam kakak lupa" jawabku santai. Mendengar jawabanku dia langsung bergegas mengambil benda pipih miliknya itu.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang