"Mengapa dia masih menghubungi suamiku dan apa yang harus ku katakan padanya nanti" Batinku didalam hati dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus bergejolak dari otakku.
Ku raih ponsel dari tangan Affan dan ku tekan tombol untuk menjawab telfon. Ku tekan tombol loudspeaker agar Affan juga bisa mendengar suara mantan pacarnya itu.
"Biarkan dia yang memulai pembicaraan" batinku setelah menekan tombol untuk menjawab.
"Assalamu'alaikum" terdengar suara Septi dari seberang sana.
Bibirku masih terkatup, aku bingung. Aku takut menyakiti hatinya. Bagaimanapun juga dia hanyalah korban dari perjodohan kami, dia di khianati. Aku merasa iba padanya.
"Iya, Wa'alaikum ...." kataku terputus
Tut ... tut ... tut ...
Septi mematikan telepon dari seberang sana. Aku dan Affan saling pandang-memandang. Di fikiranku ada beribu pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya.
"Kenapa wi, kok diam?" Suara Affan mengagetkanku.
"hmm kenapa kakak tidak putusin kak Septi sebelum kita menikah?" Akhirnya aku berani menanyakan pertanyaan itu.
"Karena percuma saja, dia tidak akan mau wi" Affan memegang tanganku.
"Kenapa?" Aku penasaran
"Karena kakak ini cinta pertamanya jadi dia tidak mau melepaskan kakak begitu saja" hatiku sakit mendengar jawaban Affan, karena Affan juga adalah cinta pertamaku. Aku tak ingin orang lain merebut cinta pertamaku.
"Tapi kakak cintakan sama dia?" Aku menahan nafasku untuk mendengar jawabannya.
"Cinta saja tidak cukup untuk membuat kita bisa hidup bersama wi, banyak orang yang saling mencintai tapi tidak mampu untuk hidup bersama" jelasnya sambil memegang kedua pipiku dan menaik turunkan alisnya.
"Haisssss, aku mau tidur" ucapku mengibaskan tangannya.
"Aku ikut" sikap manjanya kini diperlihatkan lagi.
"Kerja dulu ya sayang, aku ngantuk" aku mencium pipinya dan dia mencium keningku lalu aku berlalu menuju tempat tidur.
Malam ini tidurku sangat lelap, mungkin karena sejak pagi aku sangat bahagia kecuali beberapa menit sebelum dan sesudah mengangkat telepon dari Septi, mantan pacar suamiku.
Baru beberapa detik mataku terpejam, nada dering poselku berbunyi. Aku segera melihat siapa yang menelfonku, ternyata dari Nania. Mengapa Nania menelfonku, tumben sekali lalu aku segera angkat telfonnya.
"Halo, Assalamu'alaikum Nan" aku masih berbaring.
"Tiwi ko su tidurkah belum?" Dari cara bicaranya ini pasti Wisda, aku tersenyum mendengarnya.
"Belum Wis, ada apa?
"Tiwi e, lusa tong dapat suruh ke kampus dari kaka senior karena tong ada mo pertemuan" ucap Isda dangat cepat.
"Lusa itu hari apa ya?"
"Ji hari kamis toh" suaranya terdengar setengah berteriak.
"Oke" jawabku singkat.
"Baru, kapan ko pulang?" Tanyanya lagi.
"Hari rabu, Wis"
"Kalo ko pulang jang ko lupa bawa ole-ole neh" ucap Wisda mengakhiri percakapan.
"Oke" aku menjawab setelah Wisda mematikan telfon.
Aku sangat lelah, aku harus segera memberikan hak kepada mataku untuk memejamkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔
RomanceMenikah muda di umur 17 tahun karena perjodohan adalah hal yang tak pernah terbersit di dalam fikiranku. Aku adalah Zeinida Pratiwi Zahman, gadis desa yang baru saja lulus sekolah menengah atas yang akan melanjutkan kuliah di kota Makassar dengan be...