Bab 23

3.6K 143 2
                                    


"Kakak! Lepasin! Biarin aku menghajar wanita ular ini!"

Aku mencoba memberontak, tetapi tidak berhasil karena perbandingan tenaga yang cukup jauh. Aku kalah dari Affan.

"Sudah, Tiwi. Jangan dengarkan dia. Kamu masuk saja!" Affan berucap dengan nada dingin.

Melihat sikap biasanya itu, darahku mendidih karena amarah. Bisa-bisanya dia menyuruhku mengabaikan wanita ini.

"Tidak, Kak. Aku harus ...."

"SUDAH, TIWI!" Affan membentakku dengan volume nada yang cukup tinggi, berhasil membuat jantungku berpacu dengan cepat. "Masuk, ke dalam, rumah!"

"Affan, kamu percaya, kan? Ini tuh anak kamu." Septi memelas sambil mengoyangkan tangan Affan yang bergeming.

Kenapa dengan Affan? Yang dikatakan Septi salah, kan?

"Septi ... aku ...."

Kenapa Affan melemah menghadapi wanita itu? Aku semakin marah. Bisa-bisanya suamiku membentak aku sementara pada wanita lain ia bersikap lembut.

"KAK ... AKU INI ISTRI KAMU, BUKAN DIA!" Aku berteriak di depan wajahnya. "Harusnya kamu lebih memilih aku daripada dia!"

"Tiwi ... kamu masuk ke dalam!" Affan memijit pelipisnya, seolah sedang sakit kepala.

Hey! Seharusnya aku yang sakit kepala di sini. Semua kejutan ini karena Septi, mantan Affan.

"Nggak bisa, Kak. Aku tidak akan mau masuk sebelum wanita ini ...."

"MASUK TIWI!"

Aku terdiam. Bukan karena kalah. Tetapi menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan semua amarah di dalam diri.

Aku menatap sinis Septi yang balas menatapku penuh ejekan.

Ku banting topi togaku ke lantai, apa semua ini? Mengapa Affan lebih memperdulikan wanita ular itu dari pada aku?

Sesak di dada semakin bertambah ketika melihat arloji yang ku gunakan di lengan sebelah kiri, sudah 10 menit aku meninggalkan Affan bersama wanita ular itu namun belum ada tanda-tanda bahwa dia akan masuk ke dalam rumah.

Argggghh ....
Aku berteriak sangat keras, tak mampu lagi kubendung semua ini. Segala kesakitan yang ada di dalam hatiku mengingat perkataan Septi kepadaku perihal meminta pertanggung jawaban kepada lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu, lelaki yang tidak pernah berkurang perhatiannya padaku walaupun aku tak menggubris pesannya seharian jika sedang ada proyek di luar kota dan aku sedang sibuk, lelaki yang selalu menjadi imamku saat salat, lelaki yang tidak pernah mengeluh ketika aku sudah berkali-kali menyusahkannya.

Bagaimana bisa semua ini terjadi?

Apakah kali ini dia benar-benar telah mengkhianatiku?

Apa salahku?

Tiga pertanyaan itu berputar-putar di dalam otakku, aku tak bisa memecahkannya. Aku tak percaya dengan semua ini. Mengapa aku bisa terkelabui?

Tangisku pecah memutar kembali memori beberapa tahun yang kami lewati tanpa gangguan Septi, kapan wanita itu masuk menyelinap ke dalam rumah tangga kami? Dimana letak kesalahanku sehingga Affan tega untuk mengkhianatiku?

Krek.

Gagang pintu terlihat berputar pertanda bahwa ada orang yang akan masuk ke ruangan berukuran 4x4 ini. Affan memasuki ruang ini dengan wajah yang tertunduk lemah. Aku masih duduk di lantai sambil memeluk lututku.

Affan duduk di depanku dengan kedua kakinya yang dilipat ke belakang, aku masih larut dalam kesedihanku. Aku berharap ini hanya mimpi. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang