Kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku, aku duduk di trotoar dekat parkiran mall. Memeluk lututku seperti orang yang sedang kedinginan.
Otakku mendidih dan hatiku seperti terbakar, suamiku mengkhianatiku lagi.
"Kenapa kau?" Nania mengagetkanku.
Kutarik nafasku agar sesaknya berkurang
. Dengan air mata berkumpul di iris mata, aku menatap Nania dengan datar. "Aku boleh tinggal bersamamu?"Kerutan di dahi Nania terlihat jelas. "Kenapa kamorang? Pisah ranjang?"
"Plis, Nan. Aku boleh tinggal sama kalian ya. Aku bakalan bayar, kok. Tenang aja." Ucapku tanpa menjawab pertanyaannya.
Perkataanku membuat Nania dan Wisda saling berhadapan, kebingungan dengan sikapku ini.
Mungkin karena iba padaku akhirnya Nania mengizinkanku untuk tinggal bersama mereka.
Aku melangkahkan kaki dengan pelan-pelan ketika sampai di depan Kosan Nania dan Wisda, ada rasa perih di dalam hatiku yang tak mampu kuceritakan pada siapapun bahwa betapa malangnya diriku saat ini.
Cinta yang baru saja tumbuh dihati ini harus dipaksa untuk mati dengan cara sekasar ini, walau sekuat tenaga aku mencoba untuk mematikannya dan menyembuhkan rasa sakitnya tetap saja itu hanya sia-sia.
Bagaimana mungkin seseorang yang telah berjanji didepan orang tuaku untuk menjagaku kini menelantarkanku seperti ini.
Suara dering ponselku terdengar, kulihat nomor dengan nama "My Lovely" tertulis di ponselku sedang memanggil. Aku menekan tombol reject lalu memblokir nomornya dari ponselku agar tak dapat menghubungiku lagi. Aku segera berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan meminjam baju Wisda yang cocok denganku. Aku sangat malu melakukan ini namun aku tak berdaya.
Kulihat ada sekitar 37 panggilan tak terjawab dan 10 pesan di whatshaapku darinya. Aku lupa memblokirnya dari whatsappku. Kubuka pesan itu.
"Assalamu'alaikum Tiwi, dimana kamu?.
Kakak sangat khawatir"
"Septi sudah janji sama kakak untuk tidak menghubungi kakak lagi wi, ayo pulang"
"Wi?"
"Dimana?"
"Ayo pulang"
"Jangan buat kakak khawatir wi"
"Tolong balas wi"
"Wi?"
"Aku minta maaf"
"Kakak kangen kamu wi"Dadaku sesak membaca pesan terakhirnya, aku juga kangen padanya. Tak terasa bulir-bulir bening kini menghujani pipiku, betapa berat yang kurasakan ini.
Aku tak sadar bahwa sedari tadi Wisda sedang memperhatikanku, sejurus kemudian dia mendekati lalu memelukku, aku menangis di dalam pelukan Wisda. Teman sekelasku yang baru beberapa kali bertemu denganku dan mungkin akan menjadi sahabatku.
Lama aku menangis di dalam pelukan Wisda.
"Tiwi, ko berenti menangis sudah. Sa tara mampu dengar orang pu suara kalo menangis jadi. Sa iko sedih juga moh"
("Tiwi, ayo berhenti menangis. Aku tidak sanggup mendengar orang yang menangis. Aku juga jadi kut sedih")
Wisda mengelus-elus punggungku.Aku melepaskan pelukanku darinya lalu segera menghapus buliran-buliran bening yang ada di pipiku.
"Ko pung rumah tangga kenapakah Tiwi?"
("Tiwi, memangnya ada apa dengan rumah tanggamu?") Wisda mengintrogasiku.Aku hanya menggelengkan kepalaku, tak mampu mengatakan apapun padanya. Aku memang sangat sulit membagi perasaanku dengan orang lain, memendamnya sendiri adalah kebiasanku menenangkan fikiran.
"Ko hapus itu ko pung air mata sudah, baru tong kaluar cari makan"
"Hapus air matamu, setelah itu kita pergi cari makan"Wisda berlalu keluar kamar, sepeninggalnya dikamar aku masih meratapi nasibku ini. Entah apa yang harus kulakukan dengan rumah tanggaku yang masih seumur jagung ini, aku sangat tidak berpengalaman dengan cerita cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔
RomanceMenikah muda di umur 17 tahun karena perjodohan adalah hal yang tak pernah terbersit di dalam fikiranku. Aku adalah Zeinida Pratiwi Zahman, gadis desa yang baru saja lulus sekolah menengah atas yang akan melanjutkan kuliah di kota Makassar dengan be...