Bab 15|Septi Hamil?

4K 148 8
                                    

"Mauka minta pertanggung jawabannya Affan!"
("Aku ingin meminta pertanggung jawaban dari Affan!") Mata wanita itu terarah lurus pada Affan.

Tanggung jawab?

Affan melangkah maju hingga berada tepat di hadapanku.

"Apako bilang ini, Septi? Mauko hancurkan lagi rumah tanggaku kah?"
("Kamu ini bilang apa sih, Septi? Kamu mau hancurin rumah tangga aku lagi?") Dengan nada suara yang naik satu oktaf, Affan membentak.

Seharusnya, Septi ketakutan mendengar bentakan itu, tetapi raut wajahnya tidak berubah sama sekali.

"Hamilka, Fan!".
("Aku hamil, Fan!").

Kakiku mundur sekali mendengar itu.

Tanggung jawab?

Hamil?

Dua kalimat itu cukup lama diproses oleh otak. Apa maksudnya ini?.

"Jang moko balle-balle, Septi. Nda pernahki begitu--".
("Kamu jangan bohong, Septi. Kita nggak pernah--").

"Kita lupami malam itu kah, Fan?"
("Apa kamu lupa malam itu, Fan?") Septi melangkah mendekati Affan, mengalungkan salah satu tangannya di leher Affan. "Itu malam ... kita ... bukannya sama-sama mauki?" ("Malam itu ... kita ... sama-sama menginginkannya bukan?").

"Apa ini, Kak?" Aku menarik lengan Affan dengan kasar, hingga membuatnya berbalik tepat ke arahku.

"Sayang ..., dia bohong. Kamu jangan percaya sama dia ...." Affan memelas.

"Affan, mauki lari dari tanggung jawabta?"
("Kamu mau lari dari tanggung jawab, Affan?") Giliran Septi yang menarik lengan Affan berputar ke arahnya.

"Nda pernaka saya begitu sama kamu!"
("Aku nggak pernah ngelakuin itu sama kamu!")

"Jang maki pura-pura lupa, Affan!"
("Kamu jangan pura-pura lupa, Affan!") Septi berteriak di depan Affan.

Aku terdiam, memerhatikan keduanya bercengkerama. Fakta menyakitkan ini sangat sulit diproses oleh otakku.

"Mana ada pura-pura kulupa? Nda pernaka memang bikinko begitu!"
("Apanya yang pura-pura lupa? Aku memang tidak pernah melakukannya!") Wajah Affan memerah, hingga ke kedua telinganya.

Aku harus mundur lagi untuk menormalkan jantung yang terasa perih atas kenyataan ini.

"Tiwi! Kalo nda percayaki, ini buktina!"
("Tiwi! Kalau kamu nggak percaya, ini buktinya!") Septi menarik tanganku lalu menempatkan sebuah kertas di atas sana.

Aku meneguk ludah sekali, lalu membaca kata demi kata yang tertera di surat itu.

Septi positif hamil.

Aku menahan napas, mencegah letupan magma kemarahan yang bersarang di dalam dada. Aku menatap Affan dengan datar, kemudian memberikan surat itu secara kasar padanya.

Aku berlari menuju kamar, dengan linangan air mata yang terus berjatuhan.

Emosiku tak dapat kubendung lagi, semua ini begitu menyakitkan seperti ada yang sengaja menusukkan pisau tepat dijantungku. Sesak didadaku ini membuatku begitu sulit untuk bernafas.

Aku memahami jika Septi merasa sangat disakiti karena pernikahanku dan Affan ini, bagaimanapun pasti hatinya sangat sakit. Tetapi masalah kehamilannya, aku tak menyangka itu akan terjadi. Suamiku yang selalu tenang dan selalu sabar mengapa begitu tega melakukan hal ini padaku.

Klek!

Kudengar gagang pintu terbuka, kuyakini itu adalah Affan. Untuk apalagi dia datang kepadaku setelah semua hal yang menyakitkan ini dia lakukan padaku.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang