Bab 20

3.4K 136 9
                                    

"Aku cuman pengen kuliah, Kak. Apa masalahnya, sih? Kakak nggak tau apa, perjuangan aku supaya bisa kuliah?" Aku membentaknya.

Membayangkan diriku duduk di depan rumah, yang hanya bisa memperhatikan orang-orang lalu lalang menuju kampus. Argg! Tidak bisa! Memikirkan saja tidak bisa, apalagi jika benar terjadi.

"Tiwi ... ini demi kebaikan kamu dan anak kita." Nada suara Affan melemah. Matanya berubah sendu. Namun, semua itu belum cukup untuk membuatku luluh.

"Nggak bisa, Kak." Aku membelakanginya, menolak setiap alasan yang memaksaku untuk berhenti kuliah.

"TIWI!"

Jantungku terasa melompat dari tempatnya mendengar ia membentak. Sebulir air mata jatuh dari pelupuk. Aku tersedu.

Affan menggeram pelan. Sebelum akhirnya terdengar suara pintu ditutup cukup keras.

Tubuhku luruh ke lantai dengan isakan tangis yang keras.

*****
Badanku sangat lemas karena menangis begitu lama sampai tertidur. Kulihat jam tanganku, ini sudah kurang lebih dua jam sejak Affan meninggalkanku sendirian di rumah ini. Kemana dia?

Kuperbaiki posisi dudukku agar nyeri di perutku agak sedikit berkurang. Sejak Affan menarik tanganku sangat keras tadi, perut ini menjadi ngilu. Aku menjadi takut akan terjadi apa-apa pada bayiku dan sekarang Affan sedang tidak ada di sini.

Aku teringat kejadian beberapa jam yang lalu, perdebatan sengit antara aku dan Affan. Sebenarnya aku pun menyayangi anak ini tapi aku tidak mau mengambil cuti kuliah. Dari beberapa artikel yang telah kubaca, tidak ada masalah ketika ibu yang sedang hamil beraktivitas seperti biasa. Dokter pun tidak menyuruhku untuk mengambil cuti kuliah, tapi kenapa ia menjadi sangat kekeuh menyuruhku untuk cuti. Apa yang sangat dia khawatirkan? Bukankah aku tidak akan terlalu lama meninggalkan anakku ketika lahir nanti jika jumlah SKS yang kuambil sudah tidak terlalu banyak. Jadi, menurutku aku tidak perlu mengambil cuti.

Affan sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasanku, dia begitu keras kepala. Perihal masalah ucapanku yang kukeluarkan, sebenarnya itu semua tidak keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam. Mana mungkin ada seorang ibu yang tidak menginginkan kehadiran buah hatinya, namun emosiku begitu melunjak tinggi. Dan sekarang, semua perkataan itu menyakiti hati Affan dan terlebih lagi hatiku sendiri. Ya Rabb, sungguh sesuatu yang dilakukan dengan kepala yang panas itu akan mendapatkan hasil yang buruk. Berulang-ulang kuucapkan istigfhar untuk menenangkan diri.

Hatiku semakin terasa perih ketika mengingat sikap Affan menghadapiku, apa ia tidak bisa mengalah sedikit saja?. Jika tadi dia bisa mengalah dan mengontrol emosinya maka akupun tak akan berubah menjadi buas seperti tadi. Sejatinya perempuan itu adalah makhluk yang selalu ingin dimengerti.

Aku merasa bersalah telah membentak Affan, setelah kupikir-pikir apa yang dia katakan itu memang betul. Harus ada yang dikorbankan dalam hal ini. Kuliahku masih bisa kulanjutkan tahun depan, namun anak belum tentu tahun depan akan diberikan lagi. Mengapa aku sangat bodoh seperti ini?

Kuraih ponselku yang berada dimeja yang tepat disamping tempat tidurku dan Affan. Kulihat ada beberapa pesan whatsapp, segera kugeser layar ponselku untuk melihat siapa pengirim pesan itu.

Dua pesan dari Nania yang menanyakan tentang keadaanku, satu pesan dari ketua tingkatku yang berisi pengumuman jadwal pengumpulan tugas dari beberapa dosen, dan 1 pesan dari ibuku yang juga menanyakan keadaanku. Aku sedang tidak baik-baik saja, aku berharap ada pesan singkat dari Affan sekarang walau hanya mengabarkan tentang keberadaannya sekarang ada dimana. Apa dia masih marah padaku?

Inginku mengirim pesan padanya untuk menanyakan keberadaannya sekarang namun mengingat sikapnya beberapa jam yang lalu membuatku menjadi takut.

Lama sekali kubolak-balikkan benda pipih yang sekarang ada ditanganku ini. Kuhitung manik-manik bajuku dengan sebutan 'sms', 'tidak' sampai sekitar tiga puluhanan manik dan akhirnya mendapatkan hasil 'sms' dihitungan manik terakhir.

Kutarik nafasku untuk mengumpulkan keberanian, segera kucari kontak Affan yang ada di ponselku. Ah, kebetulan dia sedang online sekarang.

|Lagi dimana?|

Kukirim pesan singkat itu dan berharap ia segera membalasnya, beberapa menit sudah kukirimkan pesan namun ia sama sekali belum membalas atau pun membaca pesan itu padahal sekarang dia terlihat sedang aktif. Keterangan centang dua dibawah pesan itu belum berubah warna menjadi warna biru atau menandakan jika pesan itu sudah dibaca. Apa dia sengaja mengabaikan pesanku?

Prak!!

Kulemparkan benda pipih itu ke lantai dengan sangat kuat, aku sangat tidak suka diabaikan. Mengapa ia tidak memikirkanku? Apa ia benar-benar ingin menceraikanku hanya karena ketidak sopananku tadi? Ais, mengapa ia menganggap hal seperti itu menjadi sesuatu yang begitu serius?

Astagfirullah, mengapa aku begitu naif? Mengapa harus kulemparkan benda itu? Aku segera beranjak memungut ponselku yang masih ada di lantai. Untung saja lcdnya tidak pecah jadi masih bisa digunakan. Segera kucari nama kontak Affan dan kukirim pesan kedua untuknya, walau pesan pertamaku tadi belum ia baca tapi aku tidak pantang menyerah untuk melakukannya sekali lagi. Mana tau pesan keduaku ini bisa membuat hatinya menjadi luluh dan segera pulang ke rumah.

|sayang lagi dimana? Aku minta maaf, aku sayang sama Kakak.|

Sebenarnya aku tak pernah mengirimkan pesan semesra ini, aku juga jarang memanggilnya dengan sebutan sayang. Tapi apalah dayaku, aku memang sangat menyayanginya.

Kali ini malah hanya centang satu yang muncul, ini berarti dia sedang tidak aktif.

Arrrgggghhhhh!

Aku berteriak sangat keras untuk mengeluarkan semua emosiku, dan ponselku? Tentu saja sudah kembali kulemparkan ke lantai. Kali ini benda pipih itu telah menjadi puing-puing yang berhamburan di lantai.

Aku tak mampu lagi menanggung beban ini, begitu susah mengendalikan emosiku. Aku ingin meledakkan semua emosi ini, tapi siapa yang akan menjadi tujuan emosi ini sedangkan yang salah adalah diriku sendiri.

Affan pasti merasa sangat tersakiti oleh kata-kataku yang sama sekali tidak menginginkan anak kami. Namun itu kuucapkan hanya karena emosiku yang tidak bisa terbendung lagi. Mengapa dia tidak peka dan hanya bersikap marah lalu pergi meninggalkanku sendirian, padahal jika ia membujukku maka aku akan memaafkan dan bisa mempertimbangkan segala ucapannya.

Aku sangat membenci diriku akhir-akhir ini, emosi yang selalu meletup-letup di dadaku sangat membuatku siksa. Aku ingin memakan semua orang. Kecil maupun besar hal itu selalu ingin kupermasalahkan dengan panjang lebar, padahal biasanya aku selalu memendam perasaanku sendiri. Aku membenci diriku sendiri.

Kubantingkan tubuhku di spring bed tempatku dan Affan untuk mengistirahatkan diri setelah sepanjang hari melakukan aktivitas kami masing-masing. Air mataku tak dapat lagi kubendung ketika mengingat kejadian beberapa jam yang lalu dan semua hal yang telah kami lewati selama ini.

Apa yang harus aku lakukan?
Aku menunggunya sampai matahari terbenam namun sosok yang kurindukan itu tak kunjung datang.

Hanya sholat yang dapat menenangkanku, memohon agar sang maha membolak-balikkan hati membuat suamiku kembali memaafkan dan mencintaiku seperti sedia kala.

****
Rasa hangat menerpa kulit leher di antara rasa dingin yang menusuk kulit. Aku perlahan membuka mata, lalu mencari-cari penyebab rasa hangat itu, sekaligus menempatkan selimut hingga sebatas leher.

Wajah damai membuat rasa kantuk yang menghinggapiku lenyap seketika. Affan tertidur dengan begitu tenangnya, membuat mataku tak bosan memandangnya.

Tanganku tergerak, menyentuh lembut setiap inci wajahnya yang begitu mempesona. Sampai pada sentuhan di bibir, dahi lelaki di depanku sedikit berkerut. Aku menarik tangan darinya.

Saat itulah, kelopak matanya terangkat, memperlihatkan sepasang mata elang yang tak bosan dipandang.

"Kakak minta maaf sudah mengacuhkanmu, Sayang." Affan menarikku ke dalam pelukannya.

"Aku juga minta maaf, Kak," ucapku dengar suara yang agak serak. Aku menangis karena begitu merasa bersalah padanya.

"Aku mau cuti, Kak!" Sambungku yang masih terisak di dalam pelukannya.

"Benarkah?" Affan menarikku dari dalam pelukannya dan menatap mataku begitu dalam.

"Iya, tapi ada syaratnya."

"Apa?" Nada bicaranya terdengar sangat penasaran.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang