Bab 9|takut kehilangan

3.2K 146 2
                                    


Langkahku terhenti.
"Siapa wanita itu? Apa itu Septi?" Gumamku sambil meramas ujung jilbabku.

Entah berapa lama aku berdiri mematung dan tidak melanjutkan langkahku menuju mobil Affan, aku masih trauma dengan kejadian tadi malam. Ku atur nafas agar sesaknya berkurang lalu kembali melanjutkan langkahku dengan pelan-pelan.

Affan keluar dari mobil dan tersenyum padaku.

"Bagaimana kuliahnya hari ini Wi?" Ucapnya seraya menyambut tanganku yang ingin mencium punggung tangannya.

"Seru" jawabku singkat, mataku menghadap ke dalam mobil untuk melihat wanita yang ada di dalam.

"Jangan-jangan ada lesung pipinya" batinku, aku merasa cemas dan terus meramas ujung jilbabku.

Melihat sikapku Affan langsung mengerti.

"Ayo masuk wi, di kursi belakang itu ada Isna. Temanku yang mau nebeng pulang karena kurang enak badan" jelasnya sambil memeng tanganku. Aku tersenyum mendengar penjelasannya.

"Aku duduk dibelakang ya, di samping kak Isna" ucapku menuju mobil

"Eh jangan" ucapannya membuat langkahku terhenti dan membalikkan badan ke arahnya.

"Kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Nanti saya dikira sopir kalian" ucapnya sambil tertawa.

"Heleh, yang nyetir kan memang disebut sopir" ucapku ikut tertawa.

Kami berdua menuju mobil, aku duduk disamping kak Isna. Dia tersenyum padaku dan aku membalas senyumannya.

"Hai kak, Aku Tiwi" ucapku mengulurkan tangan.

"Isna, dek" ucapnya menjabat uluran tanganku.

Aku sangat lelah, ingin ku tidur di mobil ini bagaimanapun juga peristiwa tadi malam sangat menguras tenagaku. Ku urungkan niat tidur karena mendengar ka Isna berbicara dengan Affan, aku hanya menutup mataku namun tidak benar-benar tidur.

"Cantik sekali ini istrita Affan" ("cantik sekali istrimu Affan") ucap kak Isna memulai percakapan.

"Iye, berungtungka memang" (iya, aku memang beruntung) ucap Affan sambil tertawa.

"Ramah ini anak ku liat, tidak seperti Septi di"
("kalau ku lihat anak ini ramah, tidak seperti Septi") ucap kak Isna.

Dadaku kembali sesak mendengarkan nama itu, aku mengutuk diriku sendiri karena memutuskan untuk menguping mereka.

"Overdosis lagi tadi malam itu, mau bunuh diri karena stres na tau ka sudahmi kawin"
("tadi malam dia overdosis lagi, karena stres setelah dia tahu aku sudah menikah") ucap Affan sambil menarik nafas yang panjang

"Wee kodong, dompalanya itu anak di". (Bodohnya anak itu) ucap Kak Isna mengagetkanku yang ada disampingnya.

"Maaf di, ta bangka moko kapang dengar suaraku"
(Maaf ya, mungkin kamu kaget mendengar suaraku) ucapnya sambil senyam-senyum kepadaku.

Aku hanya senyum kepadanya, aku tak mengerti dengan apa yang dia katakan.

Mobil Affan berhenti, kukira kak Isna turun disini ternyata bukan. Affan turun sendirian dengan membawa gambar besar seperti peta, entahlah aku tak tahu apa namanya. Sekarang sisa aku dan kak Isna di dalam mobil, menunggu kak Affan kembali.

"Bagaimana pernikahanta dengan Affan dek?"
("Dek, bagaimana pernikahanmu dengan Affan?") Tanyanya memulai pembicaraan.

Sebenarnya aku bingung mengapa dia harus bertanya begitu padaku. Tapi aku harus menjawabnya dengan jujur.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang