Bab 22

3.6K 161 38
                                    

Harum bedak baby menguar memenuhi kamar yang kutempati sekarang. Sambil memeluk setumpuk pakaian bayi yang belum sempat dipakai anakku, aku menangis tersedu. Sejak lama, aku membayangkan bayi kecilku akan mengenakan pakaian-pakaian lucu ini.

Bayangan saat pemakaman kembali muncul. Bayi yang belum pernah kudengar suaranya itu sudah meninggalkan diriku.

Putriku, Umi merindukanmu.

Air mataku tak mampu lagi terbendung, ia ingin terjatuh melepaskan semua beban yang begitu menyakitkan ini.

Teringat beberapa hari yang lalu kami masih sibuk menunggu lahirnya bidadari kami, sumber senyuman yang akan menjadi sumber kebahagiaan setelah kelahirannya. Namun kini semua itu telah sirna bergantikan dengan kesedihan yang sangat mendalam.

"Tiwi ...."

Aku mendongak ke arah Affan yang berdiri di ambang pintu. Ia memiringkan tubuhnya membiarkan seorang wanita masuk menghampiriku.

"Nania ...." Aku memeluknya erat. Aku butuh dukungan sekarang.

Nania memelukku erat. "Kamu jangan berduka seperti ini, Tiwi. Ini sudah lebih seminggu kamu menangis. Itu matamu sudah bengkak," ucap Nania setelah aku melepas pelukan.

"Anakku ...."

"Ikhlaskan. Jangan kamu begini." Nania mengusap lenganku lembut. "InshaaAllah itu nanti anakmu jadi syafaat untuk kamu sama Affan."

Aku menunduk, membiarkan isakan tetap keluar.

"Sudah. Jangan menangis lagi." Nania merangkulku. "Bagaimana kalau kamu kuliah lagi? Biar sibuk, tidak ingat terus sama anakmu."

Aku melirik Affan yang masih berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum tipis, seolah mendukung apa yang Nania katakan barusan.

Aku menanyakan kabar Wisda dan teman-teman lainnya pada Nania.

"Dorang ada masuk kuliah, Wi," ucap Nania sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Terus kamu?" Aku mengintrogasinya dengan mengangkat kedua alisku.

"Aku bolos, Wi," lirih Nania sambil menundukkan kepalanya.

"Hiss kamu ini ada-ada saja!"

Kami berdua tertawa karena tingkah laku Nania itu, dia memang belum berubah. Dulu, ketika aku masih aktif kuliah hanya aku yang dia dengarkan untuk tidak bermalas-malasan kuliah. Tidak seperti Wisda, dia tidak bergerak sedikitpun walau apapun yang dikatakan oleh Wisda untuk memotivasinya. Nania orangnya sangat kacau, semangat kuliahnya kurang. Tidak seperti aku dan Wisda.

Banyak hal yang Nania ceritakan padaku, aku paham dia sedang menghiburku. Beruntung memiliki sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka. Wisda sama saja dengan Nania, dia juga sangat peduli padaku.

*****

"Jadi, Kak, aku boleh kuliah?" Aku mengkonfirmasi mengenai kehidupanku selanjutnya; kuliah atau tidak.

"Ya, Sayang ...." Affan tersenyum lembut sambil mengusap rambut hitamku.

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Aku memeluknya erat, sebagai pengganti ucapan terima kasih.

"Maaf, karena sudah menghalangimu mengejar mimpi. Sekarang, kamu bisa mengejar mimpimu."

Aku tersenyum haru sambil membenamkan wajahku pada dada bidangnya yang dibalut kaus T-shirt putih, menghirup aroma masculine yang khas. "Aku mencintaimu," bisikku.

Mulai hari ini, aku harus mengejar mimpi yang sempat tertunda.

Aku menunda untuk hamil dulu sebelum kuliahku selesai, aku tak ingin harus cuti kembali dan mendapat kesedihan yang sama seperti ketika mengandubg Adibah. Aku ingin melupakan segalanya.

Affan tidak mengetahui niatku yang ingin menunda untuk memiliki anak, aku diam-diam meminum pil itu tanpa sepengetahuannya. Pil yang bisa membuat seorang wanita tidak akan hamil walaupun telah melakukan hubungan suami istri, aku mengetahuinya dari kakak sepupu Nania.

Kuliahku sangat lancar, aku tak pernah mendapatkan nilai dibawah dari nilai B. Aku bisa segera lulus sesuai targetku, beasiswaku dicabut karena telah mengambil cuti dua semester. Suamiku yang membiayai uang SPP dan semua keperluanku.

Ibuku tak pernah berhenti mengirimkanku uang walau aku sudah melarangnya, entah bagaimana cara berpikir ibuku. Uang yang dikirimkan ibuku aku tabung, terkadang kugunakan untuk berQurban hewan ternak ketika idul adha dan berbagai event sedekah lainnya yang diadakan di kampus agar uang itu bermanfaat.

*****
Hari yang kutunggu-tunggu segera tiba, hari wisudaku. Aku sangat bahagia karena setelah sekian lama akhirnya gelar sarjana kini tersimpan dibelakang namaku. Namun aku juha merasa sangat sedih karena dihari bahagiaku ini ibu dan ayahku tak dapat mendampingiku karena ibu sedang sakit dan ayah tak mungkin meninggalkannya. Namun Affan selalu setia menemaniku dalam segala momen ketika aku membutuhkannya. Dia adalah suami idaman, dia memberiku hadiah wisuda sebuah gelang yang terbuat dari mutiara sungguhan yang dibeli ketika ia mengerjakan proyeknya di Labuan bajo.

Aku menyelesaikan kuliahku tepat waktu bersama Nania dan Wisda. Setelah sesi foto-foto bersama kedua sahabatku dan keluarga mereka, aku dan Affan pamit pulang lebih awal karena Affan ada sedikit pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Aku berjalan beriringan dengan Affan menuju rumah, lengkap dengan seragam wisuda yang melekat di tubuh. Setelah kehilangan bayi kami, ini adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku.

Cahaya jingga di langit barat mulai lenyap digantikan oleh kegelapan malam. Awan gelap berarak ke arah timur dengan teratur. Aku duduk di dalam mobil sambil memandangi jalanan yang dipenuhi oleh ratusan pengguna. Sepertinya akan sedikit terlambat pulang ke rumah.

Affan terus menggenggam tangan kananku. Hanya sesekali saja ia melepasnya jika sedang mengatur laju mobil. Aku tersenyum padanya setiap kali wajahnya itu menghadap padaku.

Embusan napas pelan keluar. Meski ini hari yang penuh kebahagiaan, entah kenapa ada yang terasa mengganjal. Apa itu, aku tidak tahu.

Mobil berbelok memasuki area perumahan. Dari jarak yang tak jauh dari rumah, aku melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah.

Itu milik Septi. Semoga wanita itu tidak mengganggu hubungan antara aku dan Affan lagi.

Dengan perasaan was-was, aku turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh Affan. Aku menggenggam tangan Affan yang membawaku masuk area rumah menghampiri wanita itu.

"Ngapain lagi kamu ke sini?" Aku bertanya sinis.

"Mau minta pertanggungjawaban." Wanita itu menatap ke arah Affan.

Aku tertawa kering. "Mau menipuku lagi?" Dapat kurasakan genggaman tangan Affan mengencang pada lenganku.

"Tidak. Kalau kamu mau, nanti bisa tes DNA, aku hamil anak Affan."

"Jangan mencoba membohongiku lagi, Septi!" Aku membentaknya dengan keras. Seandainya bukan karena tangan Affan yang menahanku, pipi wanita itu akan memerah sekarang.

Aku menatap tajam ke arah Affan, mengapa dia menahanku? Biasanya dia selalu membiarkanku untuk melakukan apapun pada wanita ini.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang