Bab 21| Adibah

3.9K 149 7
                                    


"Em ...." Aku terdiam sejenak, antara malu dan berat mengatakan ini. Kepalaku mendongak, menatap wajahnya yang terdapat beberapa garis kelelahan. Dengan lembut, tanganku mengusap kerutan di dahinya. "Jangan pernah tinggalin aku lagi, Kak. Aku takut ...."

Rahang yang sedang kuelus lembut terasa mengeras. Pun cengkeraman di punggungku. Affan menarik tubuhku semakin erat. "Maaf, Sayang ... aku terlalu kekanak-kanakan hingga pergi meninggalkanmu seorang diri ...." Kami berdua menangis bersama. Menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada.

Malam ini, demi cintaku pada suami dan anakku, keinginan untuk mempertahankan pendidikan kutepiskan. Berat memang, tapi aku harus memilih mana yang ingin kuprioritaskan. Mana yang lebih ingin kupertahankan. Dan seperti ibu lainnya, aku pasti lebih memilih anakku. Pendidikan memang penting, tapi anak adalah pemberian Tuhan yang harus kujaga dengan sepenuh hati. Dan aku juga tak ingin membuat Affan kecewa padaku.

Ya, memang harus ada yang dikorbankan untuk sebuah kebahagiaan, bukan?

****
Affan semakin memanjakanku selama kehamilanku, seluruh pekerjaan rumah adalah tanggung jawabnya. Sebelum menikah memang dialah koki di rumah ini, namun sekarang seluruhnya pekerjaan rumah dari hal yang kecil seperti beres-beres sampai yang berat seperti pel lantai dan menyetrika pakaian. Ah, aku sangat beruntung memiliki suami sepertinya.

Minggu ini usia kandunganku sudah menginjak usia 36 minggu, aku sangat senang karena sebentar lagi buah hati kami akan lahir ke dunia ini. Semoga ia selalu menjadi sumber kebahagiaan di dalam keluarga kecilku.

Hari ini aku dan Affan pergi ke toko perlengkapan bayi untuk membeli pakaian dan alat-alat lainnya. Aku memilih warna pink dan kuning untuk calon bayiku ini, semua yang dibeli akan diserasikan dengan warna pilihanku. Sesuai hasil ultrasonografi bahwa bayi di dalam rahimku ini berjenis kelamin perempuan.

Aku sangat bahagia ketika mendengar jenis kelamin calon bayiku ini, aku membayangkan jika nanti kami akan membeli baju dan jilbab yang selalu mirip. Kami akan menjadi ibu dan anak yang akan selalu serasi dan itu sangat seru.

Kami setuju untuk menamainya 'Nur Qaisara Adibah' yang artinya 'Cahaya permaisuri yang berpengetahuan', kami berharap Adibah akan menjadi cahaya buat orang tuanya.

Selama kehamilanku Affan selalu membelikanku buku tentang bagaimana cara untuk mendidik anak, sewaktu libur dia selalu meluangkan waktu untuk menemaniku menonton kajian tentang adab-adab mendidik anak di youtube.

Banyak hal yang telah kami rencanakan, seperti akan mencari pengasuh bayi untuk Adibah. Aku tak mungkin membawanya ke kampus. Kak Isna akan membantu mencarikan pengasuh bayi yang sesuai kriteria yang aku dan affan tetapkan, kami tak mau anak kami diasuh oleh orang yang salah.

****
Satu minggu sudah berlalu sejak kami membeli perlengkapan untuk Adibah yang tak lama lagi akan segera hadir ke dunia ini.

"Kak, Adibah hari ini kayaknya udah gak banyak maunya deh." Aku duduk di samping Affan yang sedang serius menonton.

"Gak banyak mau gimana?" Affan mengerutkan dahinya menengok ke arahku.

"Dia gak nendang-nendang lagi seperti biasa," ucapku sambil menyandarkan kepalaku di bahu kiri Affan.

"Mungkin dia udah capek ngejahilin kamu, Sayang." Affan mencubit hidungku sambil tertawa.

Kekhawatiranku sedikit berkurang setelah membaginya kepada suamiku. Tapi mengapa hari ini sangat berbeda. Adibah tidak merespon sama sekali apapun yang kulakukan. Biasanya dia sangat aktif. Apalagi sekaran kan harusnya ia tambah banyak gerak, tapi ini tidak. Kenapa? Ada apa dengan Adibahku?

Aku sangat khawatir dan mengajak Affan ke rumah sakit, aku ingin tahu apa yang sedang terjadi pada Adibah. Jika aku dan Affan tak bisa mengetahui apa alasannya, pasti dokter kandungan bisa menemukannya.

****
"Saya turut berduka. Kami tak menemukan detak jantung bayi, Ibu." Aku terkejut mendengarkan kata-kata wanita berkaca mata itu. Apa maksudnya?

Tubuhku seolah lumpuh, dunia ini seakan telah runtuh menimpaku. Dadaku menjadi sesak dan tak bisa bernapas, aku histeris dan melempar semua barang yang ada di depanku. Separuh jiwaku ikut bersamanya, Adibahku.

Affan memelukku agar aku tetap tenang. Tapi bagaimana mungkin aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini. Bayiku meninggal sebelum aku melihatnya ke dunia ini.

Apa salahku Ya Rabb, aku sudah meminta maaf padamu atas perkataanku namun kenapa kau masih memanggilnya sebelum bertemu denganku?

"Anak nya harus segera dikeluarkan." Samar-samar kudengar wanita berkaca mata itu berkata pada Affan.

Affan melirikku dan menjelaskan bahwa bayi kami harus segera dikeluarkan demi kebaikan kami semua.

Apa yang dia katakan?
Apa dia tidak merasa sedih sekarang?

Aku melepaskan pelukanku darinya, tubuhku luruh ke lantai. Aku tak mau mengeluarkan bayi ini, jika dia mati maka biarkan diriku ikut mati bersamanya.

Oh, Nur Qaisara Adibahku ....

Affan memelukku, kulihat dia pun ikut menangis. Begitu erat pelukannya, suara tersedu-tersedunya begitu terdengar di telingaku.

"Sayang, biarlah aku kehilangannya. Aku tak akan sanggup jika kehilanganmu juga,"

"Dia akan membahayakan tubuhmu jika tak segera dikeluarkan, ikhlaskan dia."

Dengan berat hati dan segala perasaan yang tidak karuan, aku setuju mengeluarkannya dari dalam rahimku.

Aku tak sanggup, semua ini sangat menyakitkan. Mengapa hatiku begitu perih?

Beberapa jam kemudian lahirlah putri cantikku, wajahnya sangat cantik seperti namanya. 'Nur Qaisara Adibah' putri tidurku, namun tanpa nyawa.

"Bangunlah, sayang. Bangun! Menangislah untukku, untuk umimu yang begitu mencintaimu!" Aku terus menangis melihat bayiku, rasa sakit yang kurasakan untuk melahirkannya tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit ketika Affan membawanya pergi.

Darah nifas mengalir di kedua betisku, rahimku pun menangis kehilangannya.

Oh, Nur Qaisara Adibahku ....

****
Dingin. Itu yang kurasakan saat telapak tangan ini menyentuh tanah basah tempat anakku yang belum melihat dunia dikubur.

Nur Qaisara Adibah

Nama itu sudah tertulis di atas nisan. Membuatku kembali merasakan sakit karena harus ditinggal pergi oleh anak yang selama ini kunantikan.

Masih terngiang dalam benak, saat Affan menanyakan penyebab kematian anak kami.

"Ada plasenta yang mulai menua sebelum waktu melahirkan, perlahan-lahan membuat janin kekurangan nutrisi dan oksigen yang digunakan untuk bertahan hidup. Biasanya terjadi pada wanita yang hamil di usia muda atau remaja, kehamilan pertama, dan wanita yang merokok saat hamil."

Begitulah penjelasan dokter.

Mataku masih terpaku pada nisan. Usapan lembut kuberikan pada benda itu, merasa jika mengusap wajah bayiku sendiri.

"Maafin Umi yang tidak bisa menjagamu dengan baik," ucapku lirih.

"Sayang ... jangan salahkan diri kamu sendiri." Affan menarik kepalaku hingga bertabrakan dengan dada bidangnya. "Allah sedang menguji kita. In syaa Allah nanti, kita akan diberikan anak lagi oleh Allah."

Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih sulit menerima kebenaran. Aku menunduk memerhatikan perutku yang sudah rata. Tidak akan ada lagi tendangan di dalam sana.

Aku merindukan Adibahku.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang