Bab 12|Egois

3.4K 149 13
                                    

#Aku_Tak_Bisa_Memberimu_Anak

Part 12

"Sudah putus ki, Septi. Ndamu pahamkah?"
("Kita sudah putus, Septi. Kamu tidak mengerti?")

Lagi, Affan membentak.

"Mau bunuh diriko? Bunuh diri lalo ko saja!"
("Mau bunuh diri? Terserah kamu saja!").

Aku tersentak ketika Affan melemparkan ponselnya ke lantai kamar dan menimbulkan suara yang sangat keras, mungkin sekarang dia sangat depresi.

Mataku tetap kupejamkan, aku tak peduli dengan apa yang terjadi. Tak sempat lagi aku peduli pada Affan yang sekarang sedang depresi, karena hatiku yang sekarang perih seperti disayat-sayat pisau tengah membutuhkan kepedulian yang lebih besar.

"Sayang ...." dadaku semakin sesak ketika Affan memelukku dari belakang.

Ingin kubalas pelukan itu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dibelakangku tapi niat itu kuurungkan karena sekarang emosiku masih tak terkendali, aku tak ingin mengucapkan kata-kata kasar pada suamiku.

"Tidurlah sayang ...." bisiknya pelan.

Aku tak merespon apapun yang dilakukan dan dikatakannya, hatiku masih sangat sakit. Aku merasa dia tidak benar-benar mencintaiku. Mataku terpejam dengan Affan yang memelukku dari belakang.

Alarm bangun pagi sudah berbunyi untuk membangunkanku, tak kulihat lagi Affan tertidur disampingku. Mungkin dia sedang tidur diluar karena melanjutkan pekerjaannya.

Tebakanku benar, sekarang dia sedang tertidur di Sofa depan Tv tanpa menggunakan selimut. Di sekitarnya banyak sekali berserakan kertas-kertas yang penuh dengan gambar .

Aku melaksanakan sholat subuh sendirian tanpa membangunkannya, usai ku sholat baru kubangunkan dia. Entah kenapa hatiku masih belum ingin berdamai. Mungkin karena usiaku yang masih 17 tahun sehingga membuatku bersikap labil seperti ini, seperti anak seusiaku pada umumnya walaupun selama aku sering bersikap lebih dewasa daripada usaiku.

Sejak kecil ayahku selalu memberikanku syarat untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, seperti aku harus menabung uang jajanku untuk membeli novel-novel yang aku sukai padahal ayah dan ibuku memiliki banyak uang atau aku harus berjalan kaki ke tempat latihan silat sejauh 3 KM padahal di rumahku ada 2 sepeda motor dan 2 mobil. Aneh bukan?.
Ayahku selalu memberiku syarat untuk keinginan-keinginanku yang sulit ia terima pun seperti pernikahanku dan Affan ini, ia takut meninggalkanku merantau sendirian mengingat banyaknya kejadian gadis yang hamil diluar nikah ketika diperantauan selama kuliah.

Aku dilahirkan dari keluarga yang berada namun aku bukanlah anak yang manja. Temanku selalu menyebutku gadis yang mandiri dan berambisi besar walaupun aku sebenarnya adalah gadis yang malas dan tidak tahu mengerjakan pekerjaan rumah tetapi dalam hal akademik akulah jagonya. Namun aku tak mau jika keinginanku tidak disetujui sama sekali, aku akan mengamuk dan mengobrak-abrik isi kamarku, kurasa ini gen dari ibuku.

Seperti kondisi yang kurasakan saat ini, walaupun aku tidak mengamuk dan mengobrak-abrik isi kamar ini namun hatiku tak bisa berdamai dengan Affan. Entah bagaimana bisa kujelaskan semua ini.

"Wi, sayang kakak minta maaf, ini semua tidak seperti yang kamu fikirkan wi" Affan memegang tanganku yang sedang duduk di sofa namun aku mengibaskan tangannya dan masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan apapun, sakit hatiku membuatku menjadi kasar.

Affan tak menahanku ataupun menjelaskan semuanya tanpa persetujuanku, mengapa dia tidak peka bahwa sebenarnya aku ingin dia membujukku lebih keras lagi. Sikapnya membuat aku merasa semakin jengkel padanya.

Berkali-kali kutarik nafasku, namun semua itu hanya sia-sia. Sesak didadaku tak hilang sedikitpun.

"Bagaimana ini? Mengapa aku menjadi begitu egois kepada suamiku sendiri?" Keluhku didalam hati.

Rumah mungil ini kini menjadi ruang hampa dalam keheningan.

********
Pipp .... pipp ....

"Siapa yang pesanki pak" Affan bertanya pada supir Taxi yang berhenti di depan rumahku.

"Ibu Tiwiji pak, disini rumahnya toh? Barusan na telponka" jawab supir taxi yang baru saja turun dari mobilnya.

Aku keluar dari rumah dengan perlengkapan kuliahku. Aku berlalu ke dalam mobil taxi tanpa berpamitan pada Affan namun aku sempat mendengarnya menyebut namaku dengan suara yang sangat pelan.

Mobil taxi melaju menuju kampusku, meninggalkan Affan digarasi rumah yang sudah menungguku sejak sekitar 30 menit yang lalu. Aku merasa berdosa telah melakukan ini, tapi aku ingin tahu seberapa besar keinginannya untuk mencintai dan memilikiku.

Pesan ketiga Septi kini kembali muncul kedalam fikiranku, mungkin saja Affan memang sengaja ingin menceraikanku dan menikah kembali dengan mantan kekasihnya itu karena dia tak bisa mencintaiku. Namun apa salahku? Kenapa dia harus mempermainkanku seperti ini?.

Nada notifikasi ponselku berbunyi, peaan dari Nania yang sudah menungguku di dalam ruangan. Aku segera menuju ruangan.

"Wee roa, kenapa terlambat lagi kau ranga?" Teriak Nania ketika melihatku menuju mendekati mereka.

Aku hanya membalasnya dengan senyum.

Usai pertemuan di Kampus aku tak ingin pulang pun mengirim pesan kepada Affan untuk menjemputku, aku mengikuti Nania dan Wisda yang sedang ingin jalan-jalan di Mall panakkukang.

Kami menuju lantai 3 untuk menyanyi di N*V karaoke. Setelah itu aku mengajak mereka untuk singgah di lantai dua untuk membeli beberapa buku novel baru di Gramedia.

Perjalanan kami hari itu diakhiri dengan makan di KFC mall Panakkukang Makassar. Beban sedikit hilang dibawa oleh desiran angin yang ada di mall ini.

******
Tak jauh dari parkiran mall aku melihat seorang pria yang mirip sekali dengan suamiku, Affan. Aku maju untuk melihat lebih dekat, dan pria itu memang adalah Affan. Pakaiannya masih sama dengan pakaian yang dipakainya terakhir kali kami bertemu.

Dia tidak sendirian, dia bersama wanita berlesung pipi itu. Yang kecantikannya 10x lipat daripada aku.

Kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku, aku duduk ditrotoar dekat parkiran mall. Memeluk lututku seperti orang yang sedang kedinginan.

Otakku mendidih dan hatiku seperti terbakar, suamiku mengkhianatiku lagi.

Bersambung

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang