Bab 24

8.4K 254 39
                                    

Raga hidup, tetapi jiwa sudah mati.

Awalnya, aku menganggap sepele kalimat ini. Namun sekarang, aku merasakannya sendiri. Melihat suamiku begitu perhatian pada Septi selama wanita itu hamil. Jiwaku seakan dibunuh secara perlahan.

Melihat itu, aku hanya bisa keluar dari rumah mencari tempat pelampiasan. Beruntung, dua sahabatku masih bersedia menampung semua keluh kesah yang kukeluarkan.

Menurut pengamatanku, Septi bahkan jarang pulang ke rumah. Setiap kali aku memasuki rumah, wanita itu selalu duduk di sofa single, meletakkan kaki di atas meja berbentuk lingkaran, sambil tersenyum mengejek. Kemudian, dari arah dapur Affan akan muncul membawa berbagai macam bua-buahan dan kue duduk wanita manja itu.

Di sini, istrinya aku atau Septi?

Percuma saja bertanya. Karena Affan pasti menjawab ia melakukan ini semua hanya untuk anak yang dikandung Septi. Jadilah, aku hanya diam menuju kamar. Maksudku, kamar tamu. Karena kamar utama untuk Affan seorang diri. Septi bukan maduku, haram menikahi wanita yang sedang hamil.

Tidak ada yang kulakukan di kamar seorang diri. Hanya menutupi wajah dengan bantal dan membiarkan air mata berjatuhan yang berdampak akan bengkak keesokan harinya.

Peduli setan dengan itu semua.

Jika curhat pada Nania dan Wisda masih kurang, maka kulanjutkan acara mengeluh pada Allah. Dengan begitu, beban yang kupikul terasa berkurang.

Hampir selama 7 bulan hanya raga yang hidup. Lalu di suatu hari, aku memasuki rumah. Kali ini tanpa Septi yang duduk di sofa dengan wajah meremehkan. Dia duduk di lantai sambil memegang perutnya yang membuncit. Tidak ada lagi ekspresi angkuh. Hanya ada wajah penuh kesakitan yang bersimbah keringat. Affan lalu membawanya ke rumah sakit. Lagi-lagi mengabaikan diriku.

Tidak apa. Aku sudah terbiasa.

Beberapa minggu ini, aku menghabiskan waktu di kamar dengan membaca novel. Menurutku, air mata ini jauh lebih pantas keluar karena membaca novel sedih daripada menangisi hubunganku dengan Affan. Lelaki brengsek itu tidak pantas ditangisi lagi.

Empat hari Affan tidak pulang ke rumah. Terserah dia mau ke mana saja. Toh hubungan di antara kami hanya sebatas pernikahan, tanpa ada rasa lagi.

Lalu pada malam keempat, suara tangis membangunkanku dari tidur. Bukan tangis warung dewasa, melainkan tangis kencang bayi kecil yang seakan membutuhkan kasih sayang. Ada yang aneh. Pasalnya, suara itu terasa berada di dalam rumah ini.

Apa Septi sudah melahirkan, lalu tinggal di sini bersama anaknya?

Mari kita buktikan.

Aku berjalan menyusuri bagian rumah yang temaram. Lampu-lampu sudah kumatikan sebelum tertidur.

Di depan kamar Affan, aku berdiri memasang telinga. Suara itu benar-benar dari sana. Aku tersenyum miring. Dia benar-benar melupakanku sekarang. Tidak apa. Mungkin besok adalah waktu yang tepat untuk memberinya surat gugatan cerai.

Aku baru saja ingin kembali ke kamar saat pintu tempat kupingku menempel tadi terbuka lebar, menampilkan sosok Affan yang sedang menggendong bayi. Sekilas, aku menatap bayi kecil itu. Lucu. Aku tersenyum tipis, membayangkan jika dia adalah anakku ... yang meninggal dulu.

Aku menggeleng pelan saat bayangan Septi kembali muncul. Sadar, Tiwi! Dia anak Septi, bukan anakmu!

Aku kembali melangkah menuju kamar yang hanya berjarak sekitar dua meter dari tempatku menguping tadi.

"Tiwi ...."

Aku menahan tangan untuk tidak memutar kenop pintu. Masih dengan posisi membelakangi Affan, aku bergeming.

Aku Tak Bisa Memberimu Anak✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang