11.

4.8K 285 0
                                    

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan perawatan yang panjang akhirnya Ryoko dipindahkan keruang rawat inap. Baik Hamano-san maupun Laila saling terdiam meski mereka berada diruangan yang sama seolah-olah mereka tidak terlihat satu sama lain.

Ponsel Hamano-san berbunyi.

"Kau sudah melakukan apa yang aku minta?" Hamano-san bertanya pada orang yang meneleponnya tanpa basa-basi.

"Baik. Terima kasih." Ia menutup teleponnya setelah mendengar jawaban dari orang yang diteleponnya. Hamano-san mendekati Ryoko. Dipandanginya anak kecil yang tertidur pulas itu sebelum kemudian dia pergi meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa pada Laila.

"Tetsu." Laila memanggil lirih. Hamano-san berhenti sebentar didepan pintu. Laila menyusulnya hingga keduanya berada diluar ruangan Ryoko dirawat.

"Kau mau kemana, kau tidak menunggu Ryoko sadar?"

"Tidak, ada yang harus kulakukan."

"Kau akan menemui wanita murahan itu bukan?"

"Kau!" Suara Hamano-san bergetar, ia merasa marah ketika mantan istrinya memanggil Kirei dengan sebutan yang tidak pantas.

"Kau meninggalkan anakmu dan memilih menemui wanita itu. Ayah macam apa kau ini."

"Dia bukan anakku." Hamano-san berkata tegas. Laila tampak terkejut tapi ia berusaha menutupi keterkejutannya itu.

"Jangan bicara omong kosong."

"Aku bicara yang sebenarnya. Ryoko bukan anak kandungku."

Plak

Sebuah tamparan keras dilayangkan Laila pada Hamano-san. Lelaki itu terkejut tapi dia memilih  diam. Hamano-san berbalik  dan berjalan meninggalkan Laila yang berteriak histeris memanggilnya.

"Tetsuyasu Hamano! Kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja!"

Hamano-san berhenti, tanpa menoleh dia berkata "jika kau mengkhawatirkan biaya perawatan Ryoko, kau tak perlu khawatir. Aku sudah membayarnya semua."

Laila makin histeris menangis di koridor rumah sakit itu hingga suster-suster harus menenangkannya.

***

Hamano-san memasuki ruang rawat Kirei dengan hati-hati. Dilihatnya gadis pujaannya itu tidur menghadap kearah pintu. Hamano-san meletakkan keranjang berisi coklat di meja kecil sebelah tempat tidur Kirei. Ia lalu duduk di sofa sambil membaca koran hari itu. Sesekali diperhatikan Kireina yang tidur dengan nyaman.

 Sesekali diperhatikan Kireina yang tidur dengan nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kirei menggeliat dan membuka matanya. Ia tersenyum ketika melihat Hamano-san duduk di sofa menungguinya.

"Kapan kau datang?"

Hamano-san mendongak dan tersenyum melihat Kirei. Ia berjalan mendekati gadis itu dan duduk dihadapannya.

"Baru lima menit yang lalu."

"Benarkah?" Tanya Kirei tak percaya. Hamano-san tersenyum seraya memegang wajah Kirei. Dikecupnya kening gadis itu dengan penuh kelembutan.

"Yasu, aku mau pulang saja."

"Kita tunggu apa kata dokter dulu."

"Aku bosan disini, bukankah dokter kemarin bilang aku bisa berobat jalan?"

"Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar baik-baik saja Hani." Hamano-san membelai rambut Kirei. Gadis itu tersenyum malu.

"Aku akan telefon Lilian, bilang aku ijin tidak masuk kerja."

"Hei, atasanmu itu aku, kenapa kau menelfon Lilian?"

"Agar dia tidak bergosip yang tidak-tidak dikantor dan tetap fokus bekerja. Laporanku masih belum selesai. Aku tak mau Christ marah karena terlambat memberikan laporan."

"Christ?" Hamano-san mengernyitkan keningnya. "Sejak kapan kau memanggil Mr. Davis nama kecilnya? Kalian akrab?"

"Kami berteman, yasu." Kirei mencoba menenangkan Hamano-san yang terlihat cemburu.

"Hani, maafkan aku tidak bisa menjagamu dari Laila. Tapi setelah ini kupastikan kalian tidak akan bertemu lagi. " Kirei menaikkan alisnya. Ia mencium sesuatu yang tidak beres.

"Apa yang kau sembunyikan dariku, yasu?"

"Tidak ada yang kusembunyikan. Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka lagi karena Laila. "

"Yasu..." Kirei membujuk. Ia menatap Hamano-san dengan tatapan memohon.

"Bukankah kau ingin segera pulang?" Hamano-san mengalihkan pembicaraan dan Kirei mengangguk dengan penuh antusias.

"Sebentar lagi dokter akan datang dan kita akan pulang. Aku merindukanmu." Hamano-san mencium bibir Kirei yang masih terlihat pucat. Ia mencecap setiap inchi bibir gadis itu seolah-olah itu sebuah permen manis yang tidak akan hilang rasa manisnya meskipun sudah dihisap berulang kali.

Ciuman Hamano-san terhenti ketika mereka mendengar pintu dibuka. Dokter masuk dengan beberapa perawat. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter akhirnya mengijinkan Kirei pulang dan tidak lupa mengingatkan untuk kontrol tiga hari lagi.

***

"Akhirnya sampai rumah. Aku merindukan tempat tidurku. Tidur dirumah sakit benar-benar membuatku pegal-pegal." Kirei melemparkan tubuhnya keatas tempat tidurnya. Hamano-san mengikutinya. Ia duduk dipinggir tempat tidur.

"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Katakan padaku, yasu." Kirei memperhatikan Hamano-san yang duduk diam di pinggir tempat tidurnya. Lelaki itu mengulurkan kedua tangannya. Kirei mengerti, ia bangkit dan memeluk Hamano-san.

"Ryoko bukan anakku."

"Apa?" Kirei melepaskan pelukan Hamano-san dan menatap lelaki itu tepat dimatanya mencari kebohongan yang mungkin terpancar Dimata lelaki itu. Tapi yang ditemukan Kirei justru tatapan kekecewaan dan terluka disana.

"Apa yang terjadi?" Tanya Kirei perlahan. Ia tahu hubungan Hamano-san dengan putrinya buruk. Tapi mengatakan bahwa Ryoko bukan putri kandungnya itu adalah hal terburuk dari yang paling buruk. Kirei duduk disebelah Hamano-san menunggu penjelasan dari pria itu.

Perlahan tapi pasti Hamano-san bercerita tentang apa yang sudah menimpa Ryoko dan kecurigaannya bahwa Ryoko bukan anak kandungnya. Kirei terkejut mendengar cerita Hamano-san. Gadis itu sampai kehilangan kata-kata, tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Saat aku pergi, Ryoko belum sadar."

"Kenapa kau meninggalkannya?"

"Selama ini aku memang tidak begitu dekat dengan Ryoko. Mengetahui kalau dia bukan anakku, entah kenapa aku merasa lega."

"Apa kau benar-benar yakin Ryoko bukan darah dagingmu? Yasu, kau tidak bisa mengambil kesimpulan hanya karena golongan darah kalian tidak sama."

"Hasil tes DNA akan keluar beberapa hari lagi. Tapi aku yakin kalau dia memang bukan darah dagingku." Kirei menatap Hamano-san dengan bingung. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

"Bagaimana lenganmu, apa masih terasa sakit?" Hamano-san mengalihkan pembicaraan. Ia memperhatikan lengan Kirei yang melepuh dan terluka dibeberapa bagian. Ada rasa sedih dan marah yang timbul bersamaan dalam hatinya.

"Aku tidak apa-apa. Aku masih bisa menggunakan tangan kiri ku." Kirei membesarkan hati Hamano-san.

"Maafkan aku, Kirei."

"Hei, kau tidak salah. Ini hanya kecelakaan." Hamano-san memandang wajah Kirei. Diciumnya bibir gadis itu dengan lembut.

"Aishiteru, Kireina." Kirei tersenyum. Ia memeluk Hamano-san dengan erat seolah memberikan kekuatannya pada lelaki itu untuk terus bersabar dengan masalah yang dihadapinya.

TBC...
Maaf banyak typo....

CEO And I / Dihapus sebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang