Pagi pun tiba. Seperti hari-hari biasa, pagi itu Fifah lalui tanpa hal yang istimewa. Rasanya ia ingin berbagi cerita. Perihal bahagia, sedih, dan kecewa yang beradu menjadi satu. Apalagi pagi tadi Ayah bilang bahwa ini adalah tahun terakhir Fifah sekolah. Mengingat dirinya telah dikhitbah oleh Irfan, Ayah menghimbau agar ia menjaga jarak dengan lawan jenis. Termasuk Muel.
Ya, selain menjaga perasaan Irfan, hal itu juga membuat Fifah terhindar dari maksiat. Apalagi setelah Rio menyampaikan salam dari Ibunya Irfan. Kebanyakan rasa sedih lebih dominan di dada Fifah karena cepat atau lambat ia menyadari suatu hal. Adalah ia akan berpisah. Dengan Ayah, Fida, adik Fifah yang satunya lagi, dan juga dengan ... Rio.
Tak tahan, Fifah begitu ingin membagi uneg-uneg di dada. Bukan kepada buku yang hanya diam saja ketika ia tumpahkan keluh kesah. Bukan juga diam saja yang justru malah semakin berat rasanya. Fifah ingin bercerita.
Aah! kalau saja saat ini ia masih bersanding dengan Ibu! Dengan sentuhan lembut, pasti tangan wanita itu mengusap kepala putrinya yang tergolek di pangkuannya.
Dan kini, kepada siapa lagi Fifah tumpahkan keluh kesah kalau bukan Nisa, sahabat sekaligus partnernya di SMK. Begitu, orang-orang menyebutnya.
Nisa ini anak kota yang satu sekolah dengan Fifah. Kebetulan, sekolah Fifah bukan di kota. Melainkan di pinggir kota. Jadi, fair lah, untuk jarak yang Fifah dan Nisa tempuh. Kira-kira ... Hampir sama lah jaraknya.
Bagi Fifah, Nisa sahabat ter-top markotop. Dengan segala keluwesan dan ketenangan gaya berbicaranya, siapapun akan tahan bicara lama-lama dengannya. Ya, Nisa. Gadis yang selalu menjuntaikan jilbabnya hingga ke pinggang ini kabarnya tengah berjuang menghafal juz 30. Katanya Nisa ingin jadi dokter. Jadi biarpun ia anak keluarga berada, ia ingin memperoleh beasiswa sehingga tidak merepotkan Ayah Ibunya.
"Kamu sakit?" tanya Nisa begitu menyadari Fifah yang lesu tidak seperti biasanya.
Andaikan Nisa tahu. Saat itu juga ketika ia bertanya seperti, Fifah ingin menangis. Perih terasa pada hidungnya hampir membuat ingus Fifah menetes. Dan matanya yang mulai memanas, sejak tadi tengah menahan air mata yang hampir menggenang.
Fifah melihat Nisa dengan ekor matanya sebelum akhirnya ia ubah posisi duduknya menjadi tegak. "Nggak kok, Nis."
"Tapi mukamu pucet!"
"Masak sih?"
Nisa menatap dengan penuh keprihatinan. Fifah mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu ia lihat pantulan wajahnya melalui kaca ponsel tersebut. Getir terasa ludah tertelan. Iya ... Ternyata bibirnya memang agak putih. Kering juga. Seperti bibir orang yang sedang sakit.
Fifah pun melumatkan lidahnya ke bibir supaya warna putihnya hilang. Setelah itu ia kembali melihat pantulan bibirnya di layar ponsel. Sudah agak mendingan. Hanya saja ... wajahnya tampak kuyu. Entah dampak kurang tidur atau rasa nano-nano yang menyergap jantungnya.
"Nis ..." Fifah angkat bicara.
Nisa menatap Fifah seolah tatapan itu menjawab panggilan sahabatnya.
"Kalau kamu jatuh cinta ... apa yang kamu lakukan?"
Nisa terperangah. Ia tatap wajah sahabatnya dengan saksama sebelum pada akhirnya terlontarlah sebuah pertanyaan, "Kamu ... jatuh cinta?"
Fifah gelagapan. Matanya liar menjelajah seluruh isi ruangan. Baik meja, kursi, papan tulis, hingga teman-teman mereka yang berlalu lalang. Aah! Rasanya kok Fifah menyesal telah bertanya soal cinta, ya?
"Fah?"
"Eh ng ... I-iya Nis? Kenapa?"
Nisa menghela napas dengan tatapan yang tak teralih sedikitpun dari Fifah. "Kamu jatuh cinta sama seseorang ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Cinta-Nya Kucintai Dirimu
SpiritualRank 1 in Sholeha (06/02/2019) Rank 1 in Santri (27/02/2019) Rank 1 in smk (17/03/2019) Rank 1 in Pacaran setelah menikah (02/04/2019) Tuhan, sang Maha membolak-balikan hati semudah membalikan telapak tangan. Pada sebuah kehidupan di muka bumi, Tuha...