DCKD 05

9.9K 488 9
                                    

Agak jauh di belakang Irfan dan Zihro yang melangkah menjauhi ndalem, seorang santri tergopoh-gopoh sambil mengangkat sarungnya tinggi-tinggi dengan sebelah tangan. Sementara tangan lainnya memegangi peci di kepalanya supaya tidak jatuh tersepak angin ketika ia berlari.

"Fan!! Irfan!!" teriak santri tersebut.

Karena Irfan sedang berbincang-bincang dengan Zihro, jadilah ia tidak mendengar seseorang memanggil namanya.

"Irfaaannn!!" santri itu kembali berteriak.

Nihil! Irfan masih belum mendengar namanya dipanggil. Akhirnya, dengan langkah super seribu, santri itu mengejar Irfan dan Zihro hingga posisinya kini sejajar dengan dua manusia itu.

"Faaannnhhh!! Hhh ... Hhh ...."

Irfan dan Zihro terperangah.

"Eh! Kamu toh, Han? Abis dikejar-kejar akhwat ya," celetuk Zihro.

"Akhwat, akhwat ... nggak lucu!" protesnya.

Irfan dan Zihro terkekeh.

"Wong aku cuma bercanda Han. Jangan dianggap seserius itu juga. Hidup itu harus dibawai santai kayak angin di pantai. Ya nda, Fan??" timpal Zihro seraya menepuk pundak Irfan. Yang ditanya hanya cengengesan.

"Irfaann ... Irfan! Kamu tuh kemana aja sih? Dari tadi dicariin nggak taunya di sini," ucap Raihan.

"Memangnya ada apa?" tanya Irfan.

"Kamu ditunggu Romo kyai di perpustakaan."

Sontak raut wajah Irfan berubah. Sejenak ia tatap Zihro yang masih berdiri di sampingnya.
Tentu hal ini tidak biasa Irfan alami karena biasanya Pak kyai akan memanggilnya jika ada urusan penting. Lalu, ada apakah gerangan yang membuat Irfan dipanggil ke perpustakaan? Apakah akan ada lomba menulis kaligrafi antar pesantren tingkat Provinsi seperti tahun lalu? Atau karena hari ini ada salah satu santri yang tidak bisa mengajar di madrasah jadi Pak kyai meminta Irfan untuk menggantikannya? Atau ... ini menyangkut Fifah yang karenanya ia jadi tidak sengaja menyentuh kulit gadis itu?

Jantung Irfan bergetar hebat. Tidak ada perasaan lain selain malu dan was-was. Bagaimanapun juga, semua santri paham betul atas sanksi dari setiap aturan yang mereka langgar. Demikian pula Irfan. Ia telah menyentuh kulit Fifah. Kedua bola matanya pun tak sengaja berkontak mata dengan Fifah. Lalu ia juga berbicara dengan Fifah yang jelas-jelas bukan mahramnya. Bagaimana ini?

"Weelah dalah ... malah ngelamun. Cepetan sana temui Romo kyai! Kelamaan keburu lumutan nanti!" tukas Raihan.

"Hus! Doamu itu loh, Han! Nda baik mendoakan Romo kyai lumutan!" ujar Zihro.

"Sepertinya ini kode dari Allah supaya aku cepat-cepat bilang terima kasih karena sudah meminjam telepon tadi," ucap Irfan. Ia harap ucapannya barusan mampu menetralkan gejolak perasaan yang tengah membuncah di balik dadanya.

"Naah itu dia! Yuk kita ke sana," kata Zihro. Irfan, yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh Pak kyai malah bergeming.

"Eiittss ayoo! Malah diem!" Zihro pun merangkul Irfan dan menapaki halaman pesantren yang menghubungkan mereka dengan perpustakaan.

"Pagi ini kamu banyak melamunnya. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Zihro.

Irfan tidak sempat menjawab karena mereka sudah sampai di perpustakaan di mana Pak kyai sedang duduk di sebuah kursi sambil membaca buku.

Hening. Hanya derap langkah kaki Zihro dan Irfan yang terdengar ketika mereka menapaki lantai berkayu itu. Sejenak Irfan dan Zihro saling pandang. Meski sudah bertahun-tahun mondok di pesantren Pak kyai, masih ada saja keraguan untuk mengucap salam lebih dulu karena takut mengganggu Pak kyai yang tengah larut dalam bacaan buku. Tentu Pak kyai yang posisinya membelakangi arah datangnya Irfan dan Zihro memang sudah tau kedatangan santrinya. Namun, beliau hanya ingin melihat bagaimana reaksi dan ilmu yang telah diajarkannya di pesantren ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk pada diri seorang santri.
Irfan menghela napas. Dengan takdzim, pada akhirnya salam terdengar dari pita suara Irfan yang memecah kesunyian.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang