DCKD 07

8.4K 447 7
                                    

Perlahan, dibukanya pintu kamar Fifah. Ia tersenyum karena dirinya baru saja melewati moment bahagia. Yaitu khitbah dari laki-laki untuk putrinya yang datang tak disangka-sangka. Bukankah itu juga rezeki?
Sementara dalam masa khitbah itu, Ayah Fifah tersenyum tatkala menyaksikan putrinya terlelap tidur.

"Maha Suci Allah yang memberikan segala rezeki. Perkara jodoh memang sudah diatur sejak kamu masih di dalam rahim ibumu, Nak. Ayah tidak bisa menahan kedatangannya meski putri kecil ayah masih sekolah," gumamnya.

Ayah Fifah pun duduk di tepi ranjang seraya memandangi wajah putrinya. Dari garis kelopak mata yang tengah tertutup, bentuk hidung mungil yang menjorok ke depan dan bibir tipis bersemu pink itu. Sangat mirip dengan wajah Ibunya. Cantik.

"Andai saja ibumu masih ada di sini. Pasti ia akan bahagia melihatmu dikhitbah oleh seorang santri." Ayah Fifah membelai pucuk kepala putrinya yang berbalut jilbab. "Insyaa Allah, calon suamimu akan sabar menunggu," lagi-lagi sang Ayah berkata.

Tak berapa lama kemudian, dibangunkannya sang putri. "Fifah ... bangun, Nak."

Tidak ada respon.

"Fifah, bangun sebentar, Nak. Ada hal penting yang ingin Ayah tunjukkan."

Fifah masih terpejam. Sekali lagi, laki-laki itu membelai lembut pucuk kepala putrinya. Sepertinya Fifah kelelahan karena tadi pulang sudah malam. Pikirnya demikian.

Tak apalah. Lebih baik Ayah Fifah katakan seadanya pada Pak kyai dan Irfan bahwa gadis mungilnya sudah tertidur.
Akhirnya, Ayah Fifah pun melangkahkan kakinya keluar kamar. Namun, belum genap 2 langkah ....

"Ayah ..."

Ayah terkejut bukan main. Ia kembali memasuki kamar putrinya, lalu tersenyum.

"Udah adzan subuh ya, Yah?" Fifah mengucek matanya. "Perasaan Fifah baru tidur kok udah pagi ya? Cepet banget."

"Ada yang mau Ayah tunjukkan."

"Hoooaaaammm ... Ayah mau ngasih tau apaan Yah?"

"Ayo, ikut Ayah. Tapi kamu harus janji! Jangan kaget ya?"

"Hmm iya, iya, Fifah janji."

Meski masih sangat mengantuk, Fifah mengekor di belakang Ayahnya menuju ruang depan. Ayah duduk di kursi tepat depan Pak Kiyai dan Fifah yang benar-benar mengantuk itu duduk di samping Ayahnya.

Wangi bunga kasturi menelisik indra penciuman Fifah. Masih sangat mengantuk, samar-samar mata Fifah menangkap dua sosok berpeci di depannya.
Mungkin aku sedang bermimpi ... lamaran itu tidak mungkin terjadi. Buktinya, sampai sekarang Pak kyai belum ke sini. Pikir Fifah demikian dengan dua bola matanya kembali tertutup.

"Jadi begini, Nak. Pak kiyai datang bersama Nak Irfan, hendak mengkhitbah kamu. Nak Irfan ini baik loh, Fah. Sempurna agamanya. Apakah kamu bersedia menjadi istrinya kelak?"

"Duuh ... Kenapa dalam mimpiku ada Ayah juga? Suara Ayah semakin terdengar nyata," pikir Fifah.

Fifah bergeming. Matanya benar-benar terkatup rapat namun yang terlihat oleh Pak kyai, Irfan dan Ayahnya ia seperti sedang menundukkan pandangan.

Sekali saja Irfan mencuri pandang kepada Fifah. "Kok dia nda marah-marah lagi? Kenapa dia nda pecicilan kaya waktu itu? Malah yang ada ...."

Fifah terlihat kalem dan tidak banyak omong. Bulu matanya lentik hitam legam menghiasi kelopak mata berkulit kuning langsat. Sederhana. Wajahnya bening bersih natural tanpa hiasan bedak meskipun setipis butiran debu.
Masyaa Allah ... gumam Irfan dalam hati.

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu. Desiran menyerupai hembusan angin di dada Irfan membuat benaknya gaduh.

"Astaghfirullahal'adziim .... kenapa aku jadi memerhatikan gadis ini?"

Sontak dada Irfan dipenuhi rasa bersalah kepada Rabbnya karena sejak tadi ia baru sadar apa yang tengah diperbuatnya. Tipu daya syaithonnirrajiim.
Diam-diam ia memerhatikan Fifah yang terpejam karena kantuk namun dikiranya Irfan, Fifah ini tengah menjaga pandangan. Sungguh, gadis ini terlihat sangat berbeda dari apa yang ia lihat pertama kalinya.

"Maafkan Hamba Ya Allah ... Hamba telah berbuat maksiat. Ampuni Hamba Ya Allah ... Semoga dalam keputusan yang Hamba ambil ini adalah jalan yang terbaik bagi-Mu. Kuatkan hamba untuk menanti gadis ini Yaa Rabb ..." lagi-lagi hati Irfan riuh.

Dengkluk! Karena Fifah ngantuk berat, jadilah kepalanya bergerak seperti sebuah anggukan satu kali.

"Alhamdulillah," ucap Pak kyai dan Ayah Fifah, lega. Sementara Irfan, jantungnya malah berdebar hebat dan entah kenapa ia jadi merasakan sebuah pertanggung jawaban kepada Fifah yang kelak akan menjadi istrinya.

Fifah membuka matanya, samar-samar ditatapnya sang Ayah, "Fifah ngantuk, Yah. Fifah masuk dulu ya,"

Tanpa menunggu persetujuan dari sang Ayah, ia pun berangsur ke dalam kamar, kembali berbaring di atas tempat tidurnya, hingga esok dunia kembali menyapa dengan segala keindahan alamnya.

Sementara Pak kyai dan Irfan yang masih duduk di ruang depan bersama Ayah Fifah.

"Apakah orang tua Nak Irfan sudah mengetahui niat baik ini?" tanya Ayah Fifah.

Irfan mengangguk takdzim. "Alhamdulillah sudah. Bahkan Ibu sudah memberikan doa restu untuk kelancaran prosesnya hingga hari akad."

"Lalu bagaimana dengan biaya hidup Nak Irfan setelah menikah nanti?" tanya Ayah Fifah secara hati-hati, khawatir menyinggung perasaan Irfan. Pertanyaan ini tidak lain adalah untuk menanyakan pekerjaan apa yang Irfan punya. Namun melihat kondisinya yang masih seorang santri, tentu membuat Ayah dari calon mempelai putri khawatir kelak anaknya mau dikasih makan apa?
Seharusnya pertanyaan ini dilontarkan sebelum Fifah menerima pinangan.
Apalah daya, laki-laki ini sudah keburu kagum dengan sosok calon mantunya yang merupakan lelaki baik agamanya dan ia yakin kelak Irfan mampu membimbing keluarganya menuju Surga.

Sejenak Irfan terdiam. Teringat gedung-gedung pencakar langit nan menjulang tinggi melebihi kesederhanaan tempatnya tinggal kini, Pesantren.

***
27 Desember 2018
💜

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang