DCKD 36

9.4K 409 29
                                    

Meski bukan kau yang kupinta, sekuat dan semampu saya akan berusaha.
Menemanimu hingga ke Surga.
____
Selamat membaca

____

Malam ini Adri dan Hilma kembali ke Yogyakarta. Kalau bukan karena janji yang telah dibuat dengan beberapa klien bisnisnya, tentu mereka akan menetap di sana selama beberapa hari. Toh ini adalah hari bahagia adiknya. Sudah tentu Irfan membutuhkan dukungan dan motivasi untuk melewati masa-masa mendebarkan dengan istrinya. Sama seperti saat pertama ia melewati malam pertama dengan Hilma. Karena jauh dari sanak saudara, akhirnya ia menuruti kata hati.

Yaah andaikan tidak ada pilihan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus ditinggalkan.

Irfan menemani Citra kembali ke penginapan sebelum pada akhirnya besok wanita itu menuju ke Jakarta, menyiapkan resepsi. Meski terkesan janggal bagi sepasang pengantin baru yang tidak tidur satu atap apalagi satu tempat tidur, sebenarnya ia hanya ingin memberi ruang untuk Fifah. Ia tau istrinya belum siap. Begitu pula dirinya. Beruntung keluarga mereka memaklumi, sementara Fifah menerima dengan senang hati.

Barang kali pertemuan pertama mereka menyisakan getaran kecil yang sama-sama tidak disadari. Bisa juga kini hati mereka saling bekerja untuk memahami perasaan yang mulai tumbuh satu sama lain. Bintang dan bulan terlihat lebih terang dari biasanya. Bahkan angin malam terasa lebih menyejukkan dari malam-malam lainnya. Secepat itukah cinta?

Di lain tempat pada malam yang sama dan tidak bisa membuat dirinya tenang, Fifah menatap langit-langit kamar. Sesekali ia meraba tangannya yang tadi siang dikecup Irfan. Ini adalah kali kedua ia dikecup lelaki. Pertama oleh Rio, kedua oleh suaminya. Pertama oleh sosok yang bukan mahram, kedua oleh sosok yang telah sah menjadi kekasihnya.

Rasanya ... beda. Ada ketenangan tersendiri, ada perasaan dicintai dan dimiliki yang selamanya Fifah harap akan terjaga. Tanpa disadari bibir tipisnya terkembang, dua telapak tangan bertumpuk ia letakkan di atas dada yang mulai berdebar.

Benar-benar seperti mimpi. Tukasnya dalam hati.

***

Beberapa sanak saudara yang berasal dari luar desa masih memenuhi ruang keluarga. Tidur dengan berbagai pose, mengingatkan Irfan akan keluarga besarnya. Berikut Ayah.

Sementara dari arah dapur, wanita paruh baya dengan rambut digulung berstelan kaos oblong bawahan jarit itu membawakan nampan berisi beberapa gelas berikut makanan. Sederhana namun pembawannya luar biasa. Budhe Karni, namanya.

"Nggak usah repot-repot, Budhe," ucap Irfan.

"Halah ... nda boleh gitu. Kamu ini kan sudah bagian dari keluarga kami," sahutnya seraya meletakan sejumlah gelas yang mengepulkan asap tipis.

Irfan tersenyum. Bahagia, bercampur haru. Maha baiknya Allah yang telah menyatukan dua keluarga. Sungguh Dialah sebaik-baik penentu kehidupan.

"Di sini nda kayak di Jakarta. Dingin, warungnya jauh, jadi ... seadanya saja nda apa-apa ya?"

Irfan terkekeh, mengiyakan. Tentu selama ia tinggal di pondok pesantren sudah tau kalau di sini jauh dari warung.

"Ibumu berangkat tadi? Pagi sekali. Oya nanti kalau kamu resepsi kita diajak ke sana toh?" lagi-lagi Budhe bertanya.

Irfan tersenyum, lagi-lagi mengiyakan.

"Semua keluarga di sini boleh ikut nda? Kasihan mereka soalnya nda pernah ke Jakarta. Paling cuma pernah liat di tipi-tipi."

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang