DCKD 06

8.9K 439 11
                                    

Sebelum rombongan Pak kyai datang tepat ketika adzan 'isya berkumandang, sebuah motor memasuki pelataran rumah Fifah. Fifah yang masih mengenakan seragam sekolah itu turun dari jok belakang kemudian menghadap sang pengemudi yang tak lain adalah kawannya sendiri. Samuel, namanya.

"Mampir, El?"

Samuel yang kerap disapa Muel itu mengangkat salah satu tangannya seraya menatap jarum jam yang terus berdetak. "Hehehe, langsung pulang aja deh."

"Yakin nggak mampir dulu? Ntar nyesel loh!"

"Nggak tau deh, hehehe. Ya udah, duluan ya, udah malem."

"Oke ...."

Samuel membelokkan motornya, hendak meninggalkan pelataran rumah Fifah.

"Makasih yaa El. Hati-hati di jalan!"

Muel hanya membalas dengan anggukan kepala dan satu kali klakson motor dibunyikan. Setelahnya, cowok itu menghilang di balik pekatnya malam. Fifah membuka pintu rumahnya seraya mengucap salam.

"Yang nganter mba Fifah itu siapa?" tanya Fida.

Fifah berdecak kesal.

Ada orang jawab salam bukannya dijawab malah nanyain siapa yang nganter. Gumamnya demikian.

Fida mengerucutkan bibirnya sementara Viska terkekeh melihat bibir sahabatnya yang mirip Donald Duck.

Fifah merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ditatapnya langit-langit kamar seraya mengingat-ingat kejadian yang baru saja dilaluinya.

Winda. Entah kenapa tiba-tiba pikirannya menjelajah ke satu nama itu. Winda adalah saudara Samuel, sahabat sekaligus teman sekelas Rina dulu. Fifah baru tahu. Bukan tentang Winda sahabat Rina, melainkan tentang Winda yang berstatus sebagai saudaranya Samuel.

Di rumah Samuel tadi, begitu Fifah memasuki rumah cowok itu untuk belajar kelompok bersama kawan-kawannya, beberapa kawan Fifah yang juga kenal dengan Winda menyapa gadis itu dan dibalas senyuman ramah. Bahkan hingga ditawari cokelat. Cokelat? Kalau ditawarin pun sebenarnya dengan senang hati Fifah akan menerimanya. Namun, begitu Fifah yang melakukan senyum ramah, wajah Winda sontak berubah. Tidak semenyenangkan asalnya. Tidak secerah awal mula ia lihat. Melainkan datar. Muka-muka dengan ekspresi tidak suka.

Tapi kenapa?
A-aku salah apa sama dia?
Waktu jamannya dia masih jadi kakak kelas pun sepertinya baik-baik saja. Ya, meskipun tidak begitu akrab, dulu Winda tidak menunjukkan ekspresi wajah muram seperti yang sekarang aku dapatkan.

Fifah beranjak dari posisinya. Ia ambil selembar handuk yang selalu menggantung di balik pintu kamarnya lalu menuju kamar mandi.

"Baru pulang, Fah?" tanya Ayah ketika melihat putrinya hendak ke kamar mandi.

"Iya, abis ngerjain tugas tadi."

"Ngerjain tugas di mana?"

"Di rumah Muel."

"Pulangnya tadi sama siapa?"

Fifah menghela napas kemudian ditatapnya sang Ayah. "Sama Muel, Ayaaaahhh."

"Muel yang ...." Tatapan Ayah menerawang ke udara.

"Yang badannya tinggi itu loh."

Ekspresi Ayahnya berubah. "Teman laki-laki kamu itu badannya emang tinggi-tinggi semua. Ayah bingung bedain mereka."

"Tapi kan Muel yang paling tinggi. Sama Ayah aja kayaknya tinggian dia, deh."

Ayahnya mengangguk-angguk. "Muel itu baik ya, suka nganterin kamu pulang."

"Itu cuma kebetulan kok, Yah."

Fifah pun masuk kamar mandi. Ia rasa Ayahnya semakin ingin tahu urusannya dengan teman-temannya. Yaa wajar sih, namanya juga orang tua. Harus tau dan memantau perkembangan putra-putrinya. Tapi di saat-saat lelah seperti ini Fifah enggan menjawab pertanyaan Ayahnya yang semakin merembet.

Kini pria paruh baya dengan usianya yang sudah menginjak kepala empat itu tengah duduk di sebuah kursi tua yang berhadapan secara langsung dengan Pak kyai dan Irfan. Beberapa santri yang tidak berkepentingan menunggunya di luar sambil membaca shalawat nabi di dalam hati mereka masing-masing semoga pengkhitbahan yang belum diketahui oleh pihak keluarga perempuan ini berjalan lancar. Begitu himbauan Pak kyai.

Zihro pun demikian. Selain membaca shalawat nabi, ia memohon kepada Allah agar diberikan yang terbaik. Entah untuk dirinya, Irfan, atau gadis itu. Jika memang Allah telah menuliskan takdir untuk Irfan dan Fifah bersama, meskipun sakit, Zihro ikhlas melepasnya. Toh, perasaan ini datangnya dari Allah? Pasti Allah juga yang akan menghapusnya. Zihro ikhlas.

"Irfan ini santri tauladan di pesantren desa ini, Pak Wahyu," ujar Pak kyai.

Apakah Pak kiyai datang kemari hanya untuk berbagi cerita dengannya? Pikir Ayah Fifah.

"Tugasnya selalu rutin, rajin dan alkhamdulillah prestasi masa SMA-nya beberapa tahun lalu juga sangat bagus." Pak kyai diam sejenak.  "Beberapa bulan lalu, alkhamdulillah menjuarai lomba menggambar kaligrafi tingkat provinsi. Untuk sekarang, Irfan ini masih taraf menghafalkan Al-qur'an 30 juz beserta hadits-hadits," ucap Pak kiyai meski bagi Irfan itu cenderung lebih terlihat seperti mempromosikan sebuah barang yang hendak dijual. Namun, apa pun itu Irfan manut saja pada Pak kyai.

Ayah Fifah manggut-manggut sambil mengulas senyum. Turut bangga dengan Irfan. Karena selain mengharumkan nama pesantren, juga nama desanya pun ikut terkenal.

"Niat kedatangan kami, sebenarnya sangat sederhana, Pak Wahyu. Di samping mempererat tali silaturrahmi jadi ... begini. Maksud kedatangan kami ke sini ingin menghalalkan putri bapak untuk santri kami, Irfan."

Ayah Fifah terperanjat. Ia tertegun sejenak. Senyumnya yang semula mengembang perlahan sirna.

Anak gadisnya? Yang kini duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Atas tengah  dilamar? Oleh seorang laki-laki yang ilmu agamanya baik? Tentu Allah tidak akan suka jika seorang manusia menolak lamaran laki-laki yang ilmu agamanya baik untuk putrinya. Lalu bagaimana dengan Fifah sendiri? Apakah ia bersedia?
Tentang Muel yang sering mengantar Fifah pulang ... barang kali jika Fifah telah ada rasa dengan Muel ini akan menyulitkan. Pikir Ayah Fifah. Eh, tapi itu kan baru praduga saja. Belum tentu benar!

Ayah Fifah mengulaskan senyuman. "Putri saya masih duduk di bangku sekolah, Pak kiyai."

Pak kiyai diam menunggu lanjutannya. Siapa yang tidak ingat dengan Aisyah, istri Rasulullah yang menikah pada usia 7 tahun dan baru bercampur dengan Rasulullah pada usianya yang ke 9?

"Kurang dari satu tahun lagi ia akan lulus. Hmmm jika nak Irfan berkenan menunggu ...."

Irfan ingat bagaimana Pak kyai turut bangga atas dirinya. Atas ilmu yang telah diajarkan padanya. Lalu kenapa hanya sebuah khitbah Irfan tidak mampu menurutinya? Barang kali ini jalan terbaik yang Allah berikan untuknya. Perkara rasa yang belum tumbuh, Zihro telah berkata tadi pagi dan ada benarnya. Itu bisa saja tumbuh setelah ia dan Fifah halal.

Tapi, Aah! Irfan benar-benar tidak enak untuk melanggar titah guru.

Ia menarik napas dalam-dalam, dihembuskan. "Insyaa allah saya siap menunggu," jawabnya mantap.

Seulas senyum terkembang di bibir kedua pria, Pak kyai dan Ayah Fifah. Sementara di pelataran rumah, para santri laki-laki yang berdiri seperti pengawal Raja masih terus membaca shalawat.

"Sebentar, saya panggilkan putri saya ya."

Ayah Fifah pun menuju ruang dalam. Ke sebuah kamar tepatnya. Ya, kamar sederhana bercat putih dengan hiasan dinding dari kertas di setiap sisinya.

***

27 Desember 2018
💜

Thanks for reading, readers.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang