DCKD 13

6.5K 329 3
                                    

Irfan melangkah mendekati mobil itu. Tampaknya memang tidak asing karena sejak kepergiannya untuk mondok di pesantren Salaf desa Dukuh lopo, ia tidak pernah lagi melihat mobil itu. Adalah mobil yang biasa dibawa Ayahnya -Herman- ke kantor. Lantas kenapa mobil itu ada di sini? Benarkah itu Herman, Ayahnya? Apa ... ia tidak pergi ke kantor? Atau mungkin Ayah ada janji sama klien di desa Dukuh lopo?

Irfan mendekatkan wajahnya ke kaca mobil, menangkap dua manusia yang ada di dalamnya. Sejenak ia tercengang. Benarkah apa yang ia lihat?
Joko duduk di belakang kemudi sambil memainkan ponselnya, sedangkan seorang wanita duduk di jok belakang dengan mata yang terpejam.

Mereka orang-orang yang Irfan kenal! Tanpa berpikir panjang, sambil setengah berlari, akhirnya Irfan menghampiri sisi kanan pintu mobil kemudi.

"Pak Joko!"

Dari dalam mobil, lelaki itu menoleh ke sisi kanan kaca yang menampakkan sosok remaja tampan beranjak dewasa.

"Mas Irfan!" Joko terbelalak sebelum pada akhirnya membuka pintu mobil untuk bergegas keluar.

"Pak Joko?!" ucap Irfan sekali lagi, seperti tidak percaya bahwa orang yang dikenalnya dan setelah bertahun-tahun tak bertemu, kini ada bersamanya. Senyumnya mengembang dengan tatapan berbinar-binar.

"Iya, Mas! Ini saya. I-ini beneran Mas Irfan, kan?" tanya Joko. Kedua bola matanya sibuk menelaah tatapan Irfan, entah apa yang sedang ia cari dari tatapan itu.

Rasa haru menyeruak di dada. Sontak Irfan meraih tangan lelaki dihadapannya dan menciumnya penuh khidmat, kemudian ia peluk tubuh Joko. Erat. Kehangatan di antara keduanya telah menjalar.
Rasa haru kian membuncah di benak Joko ketika merasakan perlakuan Irfan yang bukan lagi seperti majikan dan bawahannya. Melainkan seperti seorang anak yang menghormati orang tuanya.
Joko, lelaki yang telah menginjak usia kepala empat itu tak menyangka ketika melihat lelaki di hadapannya. Tak luput ia mengucap syukur dalam hati atas bahagia yang tak bisa terungkap oleh kata-kata.

Setelah Irfan melepas pelukannya, Joko berdecak kagum seraya memegang kedua pundak Irfan. Dipandanginya dari atas hingga ke bawah. Rasa-rasanya Joko seperti sedang berjumpa dengan Irfan masa depan. Dan saat ini adalah masa depannya.
Beda. Tentu saja! Jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam sebelum Irfan mondok, setiap harinya Irfan tak luput untuk mengenakan celana jeans bolong-bolong pada bagian lututnya yang dipadu padankan dengan hem trendy. Lalu sepatu ori dengan harga kisaran 1 juta juga menjadi koleksi kebanggaan. Tapi sekarang? Penampilan anak majikannya mampu membuat Joko berdecak kagum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ya, hanya dengan baju koko putih dan sarung sebagai bawahan lalu sandal jepit sebagai alasnya, tak lupa pula peci khas orang muslim pada bagian kepala.

Joko masih menatap Irfan penuh kekaguman.

"Mas Irfan beda banget, Mas! Saya hampir nggak ngenalin!"

Irfan terkekeh. "Ah, Bapak! Ada-ada aja. Pak Joko sehat?"

"Alhamdulillah, Mas. Saya sehat. Mas Irfan sendiri bagaimana?"

"Alhamdulillah baik, Pak," jawab Irfan. "Eh? Bentar. Kok Bapak bisa sampai ke sini? Siapa yang ngasih tau?"

Joko menghela napas. Kemudian ia ceritakan semuanya asal mula ia biasa ada di sini. Dari keinginan Citra yang sangat ingin bertemu Irfan karena hendak memiliki calon istri, hingga rasa rindu yang begitu mendalam karena bertahun-tahun lamanya rumah mereka sepi di saat lebaran. Tanpa kehadiran Irfan dan Adri.
Irfan terenyuh. Di samping merasa bersalah karena telah membiarkan Ibunya berkelana hingga Pak Joko yang semakin tua merasa lelah karena harus mengemudi, ia juga merasa dirinya benar-benar sosok yang egois!

Perlahan, nyaris tanpa suara, Irfan buka pintu mobil bagian belakang. Ia dekati Citra yang tengah terlelap.
Lantas ia menghela napas, prihatin menatap wajah yang kian menua namun tetap terjaga kecantikannya.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang