Dengan lunglai Irfan melangkah keluar ndalem Pak kyai. Ditemuinya Zihro, sahabat sekaligus teman sekamar yang paling dekat dengan Irfan.
Sebenarnya bukan hanya Zihro. Melainkan ada Aji, Wahyu, Farhan, dan beberapa teman lainnya. Tapi Irfan paling dekat dengan Zihro. Kemana-mana bareng Zihro, kebanyakan berbagi cerita dengan Zihro, bahkan ketika hafalan hadits Irfan selalu meminta Zihro untuk mengetesnya."Romo Yai kok nda kelihatan ya, Ro?" tanya Irfan sambil celingukan.
Zihro berkata seraya menepuk bahu Irfan. "Sudah, bilang terima kasihnya nanti saja. Sekarang lebih baik kita gabung sama yang lainnya buat bersih-bersih pesantren."
Dengan rangkulannya, Zihro pun menggiring sahabatnya melangkah. Ia merasakan betul apa yang sedang membebani Irfan.
Tapi seharusnya Irfan senang karena sebentar lagi akan mengkhitbah seorang gadis. Toh dengan begitu ia tidak perlu susah-susah mencari calon istri. Di samping menimba ilmu di pesantren, dapat jodoh pula. Seperti ketiban durian, bukan?
Andai saja ... ia seberuntung Irfan. Gadis yang akan dikhitbah Irfan adalah gadis yang berhasil membuat Zihro berlama-lama di pesantren karena sejak dua tahun yang lalu, setiap Fifah pulang sekolah dan Zihro hendak mengajar di madrasah, diam-diam Zihro mencuri pandang ketika mereka berpapasan. Zihro membayangkan wajah Fifah yang baru saja ia lihat. Yaitu kemarin, ketika gadis itu berhadapan dengan Irfan. Kemarin, ketika gadis itu berbicara dengan Irfan. Kemarin, ketika gadis itu digiring ke ndalem Pak kyai.Zihro juga sempat mencuri dengar ucapan Pak kyai ketika ia bersama beberapa temannya menunggu Irfan dari luar ndalem. Ya, keputusan yang membuatnya sakit karena titah Pak kyai adalah Irfan mengkhitbah Fifah.
"Astaghfirullahal'adziim," gumam Zihro setelah sadar dengan apa yang ia pikirkan.
Irfan mengernyitkan dahinya. "Kamu kenapa, Ro? Kok tiba-tiba istighfar?"
Sebenarnya Zihro sedikit terkejut dengan pertanyaan Irfan karena Zihro pikir sohibnya itu tidak mendengar apa yang ia ucapkan.
"Loh? Bukannya kita memang dianjurkan untuk banyak-banyak menyebut asma Allah yo, Fan?" tanya Zihro.
"Hmm iya sih, tapi barusan aku dengar nada suaramu itu seperti orang khilaf."
Lagi-lagi Zihro tersenyum. Maha Besar Allah yang menciptakan bumi dan segala isinya.
Rupanya Engkau memberikan kemampuan pada sohibku ini pandai menebak suasana hati orang dari nada suara yang didengar. Masyaa Allah. Pikir Zihro demikian.
Plak!
Irfan mendaratkan tamparan ke punggung Zihro.
"Ish!! opo toh, Fan?!" Zihro sedikit kesal karena Irfan mengejutkannya melalui pukulan yang baru saja ia terima.
"Kamu ini kenapa? Masih pagi udah senyam-senyum sendirian. Nggak ngajak-ngajak lagi! Masih waras, kan?"
"Ya Allah Irfan ... harusnya yang nda waras itu kamu, Fan! Wong kamu yang mau mengkhitbah perempuan."
"Loh? Kok jadi aku, Ro?" tanya Irfan tak lepas dari raut wajah Zihro yang tidak bisa ia tebak. "Meskipun aku mau mengkhitbah perempuan, perasaanku malah biasa-biasa aja. Seperti nda ada apa-apa."
Zihro terperangah. "K-kamu ... Nda ada perasaan apaaa gitu sama perempuan itu?"
Irfan menoleh. "Hahaha perasaan opo, Ro? Aku nda cinta! Yang ada aku malah nda suka!"
Lagi-lagi Zihro terperangah. Ada perasaan lega bercampur bahagia. Kalau Irfan tidak memiliki perasaan cinta kepada gadis itu, perkara pembatalan khitbah ketika mendekati waktu akad bisa saja terjadi. Dengan demikian ia berpeluang menggantikan posisi Irfan. Tapi ... yang namanya perasaan cinta, ia bisa tumbuh kapanpun jika Allah menghendaki. Bukankah Allah dapat dengan mudah membolak-balikkan hati manusia?
"Astaghfirullahal'adziim." Lagi-lagi Zihro harus beristighfar mengingat apa yang baru saja melintas dalam otaknya.
Kenapa pikiranku jadi ngelantur? Pikirnya demikian.
"Kamu nda boleh bicara begitu, Fan. Bagaimanapun juga gadis itu kan calon istrimu. Dialah yang akan kamu ajak untuk melangkah bersama dalam bahtera rumah tangga hingga kelak mencapai syurga-Nya."
"Aamiin ... Terima kasih atas doamu, Zihro. Aku harap aku pun mampu mencintainya seperti halnya Rasulullah shalallahu'alaihi wasalam mencintai istrinya, Khadijah." Irfan diam sejenak. "Tapi perasaan itu belum tumbuh."
Irfan kembali terdiam. Zihro pun demikian. Beberapa saat kemudian, ia berlata, "Dia memang belum halal bagiku. Kuserahkan semuanya pada Allah. Jika ini jalan terbaik yang Allah tujukan padaku, semoga kelak aku mampu membimbing istriku ke syurga-Nya."
"Sabar, Fan. Perasaan bisa tumbuh kapanpun sesuai kehendak Allah. Mungkin karena dia belum halal bagimu, jadi Allah sembunyikan dulu perasaan itu di hati kamu. Entah setelah kalian menikah nanti."
Irfan tersenyum. Sementara Zihro, meski getir di hatinya sedang meletup-letup, ia bertekad untuk mengikhlaskan apa yang seharusnya memang bukan miliknya.
Insyaa Allah Ikhlas.
***
23 Desember 2018
Thanks for reading, readers.
💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Cinta-Nya Kucintai Dirimu
EspiritualRank 1 in Sholeha (06/02/2019) Rank 1 in Santri (27/02/2019) Rank 1 in smk (17/03/2019) Rank 1 in Pacaran setelah menikah (02/04/2019) Tuhan, sang Maha membolak-balikan hati semudah membalikan telapak tangan. Pada sebuah kehidupan di muka bumi, Tuha...