DCKD 33

6.1K 292 6
                                    

Dua hari berselang setelah kedatangan Citra ke rumah. Fifah masih kepikiran dengan ucapan Ayahnya. Seperti biasa, di kamar. Ia memandang lekat sketsa pensil sederhana itu dengan perasaan terenyuh. Entah kenapa ... ia menjadi luluh. Pasrah, mau bagaimana juga, perasaannya terhadap Rio harus segera dihapuskan. Sebab laki-laki itu sudah beristri dan sangat tidak baik jika Fifah berjuang mendapatkannya.

Lalu soal pernikahan ... ia masih ingat. "Kalaupun dengan berat hati kita sebagai hamba-Nya harus memenuhi janji itu, Ayah rasa memang lebih baik begitu daripada kita mendapat ganjaran di neraka karena melanggar janji. Insyaa Allah, Allah akan memberikan yang terbaik buat kita, Nak. Kamu ingat, kan, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Tapi, kalau sudah baik menurut Allah, sudah tentu baik bagi kita," ucap Ayah.

Tatapan Fifah menjalar ke langit-langit kamar. Terkadang ada berpasang-pasang cicak yang merayap di sana dan ia biarkan begitu saja. Lalu, apakah dulu sebelum anak-anak cicak menjadi dewasa dan beranak pinak ia juga merasakan hal yang sama seperti dirinya?

Tidak. Cicak adalah salah satu hewan yang tidak dianugerahi akal. Berbeda dengan manusia yang diberi akal sehingga manusia memiliki gelar makhluk sempurna.

"Dulu, waktu Ayah mau menikah, sama seperti kamu. Takut. Tapi begitu Ayah lawan rasa takut itu, alhamdulillah semua berjalan baik-baik saja. Bahkan hingga sekarang Ayah memiliki anak seperti kamu." Laki-laki itu tersenyum kepada putrinya.

Semalam, sebelum tidur tepatnya, Ayah sempat bercerita tentang masa-masa dirinya akan menikah dan Fifah jadi sedikit berani tentang hal itu. Meski masih ada rasa takut dan gugup, Fifah mulai percaya bahwa ini semua terjadi atas kehendak-Nya. Jadi mau tidak mau ia sebagai makhluk memang tidak bisa menyangkalnya. Mau kabur kemanapun juga, pasti akan dipertemukan lagi dengan hal itu. Maka dari itu, hal terbaik untuk menyelesaikan adalah dengan cara menghadapinya.

Sebagai hamba pula, kita hanya perlu mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Toh menikah adalah sunah. Maka jika hal itu dilakukan, akan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan pun tidak akan berdosa.

Sementara itu, keluarga Irfan. Mereka telah memutuskan yang hadir ke acara akad nikahnya Irfan dan Fifah hanya keluarga kecil saja. Karena selain kakak beradik Citra yang repot mengurus anak-anak mereka, Kakek dari pihak Citra pun tidak bisa hadir karena usianya yang sudah tua dan cepat lelah ketika melakukan perjalanan jauh. Jadi mereka sepakat akan hadir pada acara resepsinya saja.

"Tante!"

Citra terkesiap begitu ia keluar, sudah ada Salsa yang berdiri di depan gerbang rumahnya.

"Hai! Pagi, Sayang," sapa Citra diiringi senyuman hangat dari Salsa. Dua perempuan itu pun saling mendekat, kemudian cipika-cipiki sejenak.

"Tante mau kemana? Pagi-pagi udah rapi banget," tanya Salsa setelah ia tatap wanita itu dari atas ke bawah.

"Mmm ada keperluan di luar. Kamu mau kemana?"

Salsa mengerucutkan bibirnya. "Mau ke rumah Tante. Eh nggak taunya malah mau pergi."

Citra menatapnya prihatin namun ia bubuhi senyuman sedikit. Salsa kembali bertanya, "Irfannya ada?"

"Ng ... nggak ada Salsa, Irfan kan sekarang tinggal di Bali."

Salsa terbelalak seolah ia tidak percaya. Bukankah pertama kali ia temui Irfan laki-laki itu baru pulang dari pesantren dan sekarang kenapa sudah ada di Bali? Kecewa sudah tentu ada. Pagi-pagi sekali ia datang bawakan sarapan untuk Irfan malah orangnya tidak ada. Ia juga sudah susah payah merias diri dengan hijabnya yang dililitkan ke leher dan dipadu padankan dengan aneka jeans yang serasi, malah tidak ketemu Irfan.

Yaah, apa mau dikata. Salsa menghela napas, ia berusaha tersenyum kembali. Kemudian ia yakinkan diri bahwa Irfan masih menyimpan teka-teki mengenai surprise pernikahan mareka kelak yang akan berlangsung meriah.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang