"Heh! Gadungan! Apa hidupmu mau seperti itu terus?" sebuah suara menyentakannya dari lamunan, namun ia tetap pada posisinya berdiam. "Cari kerja kek, apa kek, yang berguna buat kehidupan kami. Jangan bisanya cuma numpang!"
Wanita paruh baya berkuncir kuda itu berlalu dari dalam rumah kemudian mendekati Zihro yang terduduk di teras berlantaikan semen. Jika seseorang memerhatikannya, hari-hari Zihro selalu dilalui dengan merenung. Begitu keluar dari pesantren, laki-laki itu seolah melupakan begitu saja semua ilmu agama yang didapatnya. Belum lagi Budhenya yang terus uring-uringan. Perkataannya hanya membuat dada Zihro semakin sesak.
Wanita itu melipat tangannya di dada, ia tatap Zihro sama halnya ia menatap anak anjing. "Lihat dirimu! Sudah tua pula! Apa sama sekali tidak ingin mencari pendamping supaya ia bisa mengurusmu?"
Zihro paham. 'Ia' yang dimaksudkan di sini adalah istrinya. Namun, ia hanya meneguk ludah getir. Terasa ada yang nyeri di rongga dada, ia pendam mentah-mentah hingga tak ada sepatah kata pun yang terlontar.
Wanita itu menyentuh tangan Zihro menggunakan kakinya. "Heeii, Zihro!"
Laki-laki itu diam. Tatapannya kosong melalang buana kepada sebuah nama yang tak lama lagi akan menjadi istri sahabatnya. Zihro tidak tau kapan. Yang jelas sudah tidak ada harapan.
"Aah! Kenapa namamu harus Zihro?! Kenapa orang seperti kamu harus selalu pulang ke sini, membebani kami untuk terus memberimu makanan gratis? Kenapa kamu tidak kembali mondok saja sana! Atau ... atau insiatif lah ... cari Ibu dan bapakmu itu. Di mana keberadaan mereka, lalu kamu minta makanlah sama mereka!"
Wanita itu semakin gemas melihat Zihro yang terus-terusan mematung. Kini, ia jongkok di sisi Zihro dengan jari telunjuk kanannya yang tertempel di lengan atas keponakannya itu. "Kamu ini kenapa, hah?"
Zihro masih diam. Wanita yang disapa Budhe malah berdecih.
"Dengar, ya! Budhemu ini punya tips!" kali ini nadanya terdengar amat lirih, membuat Zihro menoleh. "Orang seperti kamu ini begini biasanya karena perempuan! Nah! Kalau kamu patah hati, ditolak cinta, kenapa tidak kejar saja dia? Kamu ini kan punya kaki, punya tangan, punya pikiran pula. Ya usahalah! Kalau perlu, kamu pelet wanita itu!"
Kali ini Zihro terbelalak. Ia kembali tolehkan kepalanya ke sisi kanan di mana ia lihat wanita itu sudah pasang mata melotot padanya. "Kenapa? Kamu tidak terima? Mondok pun percuma! Ilmumu nggak guna! Pakailah ilmu santet! Sekarang tuh jamannya cinta ditolak, dukun bertindak!" katanya lagi.
Zihro meneguk ludah getir. Tidak salahkah dengan apa yang ia dengar barusan? Menyantet Fifah? I-ini ... ini benar-benar di luar dugaan! Kenapa Budhe memberinya tips sejauh itu?
Tidak! Fifah bukan perempuan sembarangan yang bisa didapat dengan bantuan ilmu hitam. Dia bukanlah mainan yang dijadikan bahan rebutan antara dirinya dengan Irfan! Ya, sebenarnya Zihro menyadari secara batin bahwa Fifah tengah diperebutkan dua sahabat. Namun, bagaimanapun juga ia masih ingat bahwa takdir sudah ada yang mengatur. Jika memang gadis itu bukan jodohnya, toh mau usaha sampai titik darah penghabisan juga tidak akan jatuh ke pelukannya.
"Heeii, Zihro! Jangan terus-terusan melamun. Kalau kamu memang suka sama wanita itu, ya perjuangkanlah dia. Kamu ini kan manusia, punya hak juga untuk mencintai dan dicintai. Kamu ini perlu bahagia, kenapa tidak berusaha untuk mendapatkan dia? bla ... bla ... bla ...."
Dua bola mata Zihro tidak lagi fokus pada satu titik. Ia semakin liar menatap benda-benda di sekitarnya, seiring perasaannya yang berkecamuk. Dadanya benar-benar sesak, air matanya tak terbendungkan lagi. Ia menetes bersama sesenggukan dan luapan di dada yang naik turun tak beraturan lantas ia abaikan Budhenya yang masih uring-uringan memekakan telinga.
Kenapa semakin melepaskan rasanya semakin menyakitkan?
***
Ini adalah saat yang dinanti-nanti bagi dua keluarga. Bukan penantian Fifah yang kemarin menolak mentah-mentah pernikahan ini, bukan juga penantian Irfan yang sebenarnya melakukan ini karena janji.
Setelah menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam di kamarnya, Fifah mencoba tenang. Tenang ... tenang ... dan tetap tenang. Berulang kali ia tarik napas dalam-dalam, dihembuskan secara perlahan. Fifah mengamati dirinya yang berbalut gamis cokelat sederhana dengan saksama, kemudian ia lihat pantulan dua matanya yang sembab.
Dalam hati berulang kali Fifah ucapkan beribu-ribu maaf kepada Nisa. Jika sahabatnya itu tahu bahwa idolanya akan menjadi suami dari sahabatnya, maka apa jadinya?
Setetes benda kristal bening kembali meleleh membasahi pipi. Cepat-cepat ia hapus jejaknya.
"Oke, cukup Fifah. Jangan menangis lagi, ini hanyalah ijab qabul dan tidak akan membuatmu mati. Setelah ini kau masih bisa berdoa pada sang Maha Kuasa untuk dipisahkan dengan cowok menyebalkan itu. Oke ... oke, tenang Fifah. Ini adalah terakhir kalinya, ini adalah terakhir kalinya kau sendiri. Setelah ini kau ...."
Tok tok tok
Fifah mengatupkan bibirnya yang baru saja berbicara pada bayangannya sendiri di depan cermin. Setelah meyakinkan diri dan cukup mantap meski debar-debar di dada mulai bergemuruh, perlahan ia buka pintu kamarnya, menyembulah seorang wanita dengan wangi parfum nan khas di indra penciumannya. Citra.
"Assalamu'alaikum, Sayang ...." sapanya selalu diiringi senyuman ramah.
"W-wa'alaikumsalam, Bun-da,"
Citra memasuki kamar Fifah, ia tarik tubuh gadis itu untuk duduk di tepi ranjang. Seperti sosok Ibu mendambakan seorang anak perempuan, Citra selalu membelai lembut pucuk kepala Fifah sambil sesekali dipeluknya. Kadang wanita itu juga mengusap lembut kedua pipi Fifah. Kadang juga ia hapus air mata gadis itu seolah tak boleh ada setitik kesedihan yang membuatnya kalut.
Fifah mengangkat kepalanya dari pelukan Citra. Namun, wanita itu meraih kedua pipi Fifah supaya tatapannya saling bertemu.
"Kamu udah siap?" tanyanya.
Fifah mengambil napas dalam-dalam, dihembuskannya secara perlahan. "Insyaa Allah siap."
Citra tersenyum. Terlihat sangat lembut ... sekali. Kemudian wanita itu memerintahkan Fifah untuk berdoa, maka patuhlah ia pada calon mertuanya.
Sementara di luar kamarnya, Fifah tidak tahu suasana apa yang sudah tercipta di sana. Jangankan untuk tahu kedatangan Irfan bersama Pak kyai dan kawanan santri yang akan mengundang suasana ramai itu. Untuk mengetahui sekarang sedang prosesi apa pun Fifah sama sekali tidak mengerti.
"Aah! Sedang apa mereka di luar sana? Kapan akadnya? Aku sudah begitu siap, tapi kenapa tidak disuruh keluar juga? Ntar keburu takut mending nggak jadi nikah, deh! Sebodo amat Irfan marah. Aku nggak peduli!" gerutu Fifah dalam hati.
Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit berlalu. Fifah jengah di dalam kamar bersama Citra yang kali ini malah diam saja. Terlihat dari kelopak matanya yang tertutup rapat, sepertinya wanita ini memang benar-benar tengah berdoa. Tapi, kalau terus-terusan berdoa, kapan akadnya dimulai?
Aah! Fifah rasa ... tidak ada tanda-tanda akan dilaksanakannya ijab qobul di ruang depan. Malah ia berani nebak bahwa suasana di ruang depan itu sepi. Ya, sepi. Seperti tidak ada orang selain dirinya dan Citra. Ini gimana, sih?!
Citra membuka mata. Menyadari kejengahan dari raut wajah Fifah yang tak terpoles make up sedikit pun, wanita itu bertanya dengan lembutnya, "Kamu kenapa, Nak?"
"Aku ... pengen keluar, Bunda."
"Nanti aja,"
Fifah menghela napas. "Katanya mau nikah? Kok aku nggak disuruh keluar, sih, Bunda? Atau nikahnya nggak jadi hari ini?"
Citra terkekeh geli sembari kembali mengusap pucuk kepala Fifah. "Sabar ya, Nak. Nanti kalau mereka datang, kamu pasti akan keluar kamar."
Fifah mengatupkan bibirnya untuk tidak bertanya tentang apa-apa lagi. Untuk sementara waktu, keluarga dari mempelai pria sepertinya memang belum datang selain Citra. Jadi ya ... Fifah bisa bernapas lega sebelum nantinya ia akan merasa deg-degan kembali.
***
25 Februari 2019
💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Cinta-Nya Kucintai Dirimu
SpiritualRank 1 in Sholeha (06/02/2019) Rank 1 in Santri (27/02/2019) Rank 1 in smk (17/03/2019) Rank 1 in Pacaran setelah menikah (02/04/2019) Tuhan, sang Maha membolak-balikan hati semudah membalikan telapak tangan. Pada sebuah kehidupan di muka bumi, Tuha...