Tetes air membasahi bumi. Seakan memberitahu bahwa ia turut sedih atas apa yang kurasakan. Malam ini, aku kembali menumpahkan semuanya. Semua sesak yang sejak dulu kutahan. Semua rasa kesal, sedih, dan marah—yang entah kutunjukkan untuk siapa. Meneteskan kembali air mata yang selama ini kutahan mati-matian agar tidak keluar. Tapi malam ini, dia memaksa untuk keluar dari pertahanannya. Begitu pun juga aku. Aku lelah, sedih, kesal, dan juga kecewa. Aku ingin marah, tapi aku tak tahu harus marah kepada siapa. Kau berpikir, segala tingkah lakumu itu benar. Namun kamu tak peduli walau nyatanya itu menyakitkan untukku. Kau datang dan pergi sesukamu. Seakan aku hanyalah tempat persinggahan yang kau datangi saat lelah, dan kau tinggalkan setelah kalah. Aku bisa marah padamu. Itu hakku. Tapi, aku tak melakukannya. Karena marahku tak akan mengubah apapun. Aku juga bisa membencimu. Dan itu sudah kulakukan. Aku selalu melakukannya. Membencimu. Sejak aku mengetahui fakta jika aku menyayangimu. Tapi, semakin aku berusaha membencimu. Semakin bayang-bayangmu mengganggu kehidupanku. Membuatku semakin tak bisa berfikir jernih atas apa yang harus kulakukan. Aku tahu hidup harus terus berjalan. Dengan atau tanpamu, yang selalu mengabaikanku. Dan sekarang, aku harus mulai berfikir dengan apa yang harus kulakukan. Tanpamu.
Wonogiri, 13 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
In Silent
Short Story[one short-story] Segenggam perasaan yang tak sempat diucapkan oleh kata. Penyesalan. Kekecewaan. Kesedihan. Cerita ini didedikasikan untuk seseorang yang sampai saat ini masih terus mengisi hatiku.