1

2.6K 108 13
                                    

Budayakan vote dan komen ya chingu...😊

"Aku lapar, Eomma..." Ucapku setelah tiba di meja makan kemudian mengambil tempat duduk.

"Eoh, ini makanlah!" Ucap Ibu menunjuk salah satu piring di atas meja. Wanita paruh baya itu tampak sibuk seperti biasanya.

"Yeobo... bangunlah lalu sarapan sebelum makanannya menjadi dingin!" Teriaknya lagi memanggil Ayahku.

Tak lama kemudian, pria paruh baya keluar dari salah satu kamar di sana dengan wajah yang luar biasa menahan kantuk. Ayahku bahkan belum mencuci wajahnya. Tampaknya ia sangat menyayangi istrinya itu hingga tidak mau tenggorokan istrinya sampai sakit karena terus memanggil namanya. Benarkah begitu?

Aku hanya menyaksikannya dengan raut datar. Bagaimana tidak? Hal ini sudah kualami sejak mataku mulai bisa melihat, telingaku mulai bisa mendengar, dan otakku mulai bisa mencerna. Bukan sepuluh atau belasan tahun. Namun sudah dua puluh enam tahun!

Aku kemudian mengambil sumpit dan mengarahkan tanganku ke salah satu lauk di sana. Tepat sebelum sebuah sendok mendarat di punggung tanganku dengan cukup kuat hingga menimbulkan bunyi dan mengeluarkan suara desisan dari mulutku.

"Hei, Eomma bilang ambil yang di sana, bukan yang ini!"

"Ah, wae?! Kenapa Eomma memukulku?"

"Kau kan sudah tahu jika itu milik Jina. Kakakmu itu harus makan makanan yang hangat. Kau bisa memakan yang ini." Ibu mendekatkan piring yang ia maksud.

Aku hanya bisa menggigit bibirku.
Ah, apakah aku ada mengatakan jika aku sudah terbiasa dengan segala hal di rumah ini? Benarkah? Maka biar kuralat...

Ada satu hal yang sebenarnya tidak bisa kuterima. Namun aku memutuskan untuk tidak terlalu mempermasalahkannya dan menerima saja walau terkadang aku sedikit melawannya.

Yaitu perihal gadis yang usianya terpaut hanya satu tahun di atasku. Gadis yang ruang lingkup dunianya hanya seluas beberapa petak persegi. Kamarnya. Gadis yang jangankan melangkah ke luar rumah, melihatnya berjalan di dalam rumah ini saja aku tidak pernah.

Gadis yang memiliki dunia yang sempit namun mereka yang hidup di sekitarnya itu benar-benar hanya berotasi di sana dan menjadikan dirinya sebagai titik pusat. Dia mendapatkan segala perhatian. Selalu menjadi prioritas.

Dia yang membuatku merasa buruk. Dalam artian, aku telah menjadi adik yang jahat dengan merasa iri dan bahkan benci pada kakakku sendiri.

Dia membuatku menjadi adik yang jahat karena bisa membenci dirinya di saat ia bahkan tak pernah berkata kasar padaku.

Dia membuatku menjadi adik yang jahat karena telah sangat membencinya di saat ia bahkan tidak pernah melukaiku seujung jari pun.

Dia membuatku menjadi adik yang jahat karena telah membenci senyumannya.

Dia membuatku menjadi adik yang jahat karena membenci perlakuan baiknya padaku.

Aku benar-benar membencinya karena telah membuatku merasakan semua itu.

Salahkah aku?

"Tapi kan lauknya sudah dingin, Eomma!" Protesku.

"Lalu kenapa? Eomma kan memasaknya baru pagi ini, dan itu juga salahmu yang keluar dari kamarmu lama sekali."

"Aku mau memanaskannya lagi."

"Makan saja, jangan banyak protes! Makanan itu hanya sudah tidak dingin lagi, bukannya basi atau beracun. Kau tidak akan mati."

Tears of HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang