13

674 72 17
                                    

Budayakan vote dan komen yaa🤗

“Karena kau sudah selesai sarapan, aku akan menepati janjiku untuk bermain denganmu sepanjang hari.” Ucap Yuri setelah kembali ke kamar Jina sehabis meletakkan piring kotor bekas Jina sarapan ke wastafel di dapur. Jina tersenyum lebar sembari mengangguk dengan antusias.

“Kita akan melakukan apa?”

Eonni mau apa? Akan kuturuti.”

“Hmm...” Jina tampak berpikir keras.

.

.

.

Cukup lama hingga gadis lembut itu kembali berujar.

“Tidak tahu.” Jawabnya kemudian dengan senyum polos. Yuri sedikit gemas karena waktu yang digunakan gadis itu untuk berpikir tidak sedikit. Ia bahkan bisa membuat secangkir kopi selama itu. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum tipis karena menyadari sesuatu.

“Hahh... baiklah.” Yuri memperbaiki posisi duduknya.

“Mari bermain sambil belajar.”

“Belajar?” Jina tampak berpikir sebentar. Yuri baru menyadari jika ucapannya bisa saja menyakiti Jina karena itu seolah mengatakan bahwa Jina kurang ilmu pengetahuan karena tidak bersekolah. Ya, Yuri tidak pernah melihat Jina keluar dari kamar sejak Jina berumur delapan tahun.

“Oh, begini, maksudku-”

Eonni mau!” Potong Jina dengan mata berbinar. Yuri sampai terkesiap dibuatnya.

“E-eoh? Benarkah? Aku... juga senang kalau begitu.” Balas Yuri gugup.

“Kita akan belajar apa? Matematika? Sains? Atau sastra?” Tanyanya dengan antusia.

“Eoh?” Yuri bingung karena sepertinya mereka berdua sedang memikirkan hal yang berbeda.

Eonni suka semua pelajaran meskipun Eonni hampir tidak paham. Melihatmu membaca berkas-berkas pekerjaan membuat Eonni kagum. Kau terlihat keren dan berpendidikan. Jadi Eonni rasa Eonni harus mengusai setidaknya bidang studi di sekolah dasar daripada hanya membaca komik.”

Jina menjelaskan dengan penuh semangat. Yuri belum pernah mendengar Jina berbicara dengan rentetan kalimat sepanjang itu. Bahkan suaranya naik satu oktaf. Luar biasa! Bagaimana bisa dia bersemangat soal belajar di saat Yuri bahkan sangat tidak ingin datang ke sekolah saat itu.

Mungkin kau belum mengalaminya saja, Eonni. Setelahnya kau pasti akan berharap bahwa hari senin tidak pernah ada. Atau bahkan lebih memilih sakit saja di rumah setiap harinya.’

Eonni berpikir begitu? Tapi sayang sekali, bukan pelajaran seperti itu yang ingin kuajarkan pada Eonni saat ini. Kita lakukan yang Eonni mau itu lain kali, ya?”

“Begitu... Kwenchana. Lalu, pelajaran apa yang ingin kau ajarkan?”

“Ini tentang bagaimana kau harus membuat pertahanan dan melindungi dirimu dari orang-orang yang memiliki niat terselubung namun-”

“Tunggu, Yuri-ya...” Potong Jina tiba-tiba dengan raut wajah khawatir.

“Ada apa?”

Jina mendekatkan wajahnya pada Yuri. Menelisik setiap sisi wajah Yuri dengan kening berkerut dan alis bertaut. Kemudian mengarahkan tangannya menuju kening Yuri setelah itu keningnya sendiri.

“Kau sakit?”

“Mwo?”

“Kau sedang tidak sehat Yuri-ya. Wajahmu pucat, pelipismu berkeringat, dan tubuhmu terasa sangat panas.”

Tears of HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang