5

667 80 8
                                    

Budayakan vote dan komen ya...😄🙏

“Sebenarnya kau sakit apa, Kwon Jina?”

Yuri berbaring di atas tempat tidurnya. Menatap ke langit-langit kamar sambil terus berbicara sendiri.

“Aku tahu jika itu bukan sakit biasa. Aku juga tahu jika tidak ada perkembangan dalam kesehatanmu. Jadi, sakit apa itu sebenarnya?” Ucapnya sebelum membalikkan badan menjadi menelungkup. Memeluk gulingnya yang dijadikan alas.

“Kenapa kau tidak mau cerita? Eomma dan Appa juga tidak mau memberitahuku.”

Yuri tidak tahu sejak kapan Jina mulai sakit seperti ini. Seingatnya, ia pernah bermain dengan Jina dulu saat kanak-kanak. Dan tiba-tiba suatu hari semuanya berubah saat ia berumur tujuh tahun.

Setelah hari itu hingga hampir seminggu, ia tidak melihat Jina ada di rumah. Esoknya ia diajak oleh kedua orang tuanya untuk pergi ke Rumah Sakit. Dan saat memasuki salah satu ruangan, yang dilihatnya adalah Jina sedang mengamuk dan menangis histeris. Meminta semua orang untuk menjauhinya. Keluar dari ruangan itu dan meninggalkannya sendiri.

Yuri hanya bisa bersembunyi di balik Ibunya. Ia benar-benar ketakutan saat itu. Jina yang ia kenal, tak didapatinya di sana. Ia tidak merasa sedang melihat Jina, namun entah siapa yang menyerupai kakaknya.

“Huh...” Ia mendesah berat kemudian meraih ponselnya di atas nakas. Memeriksa apa ada pesan masuk dari kantornya. Dan mood-nya langsung rusak saat mendapati pesan dari orang yang selalu merusak suasana hatinya.

Pesan dari pria itu, Minho.

Apalagi, kalau bukan pesan yang berisikan hal-hal tidak penting seperti menanyakan kabar, dimana dia, apakah dirinya sudah makan atau belum, dan bahkan permintaan ingin bertemu di luar.

Pria itu pasti sudah gila pikir Yuri. Sama seperti saat ini, pria itu mengajaknya untuk makan malam di luar dan bertemu untuk meminta maaf. Yuri hanya membacanya dan tak berniat untuk membalasnya sama sekali, apalagi sampai menerima ajakannya.

Alhasil, ia melempar ponselnya ke sisi tempat tidur yang kosong dan memejamkan matanya. Ia benar-benar berniat untuk pergi tidur, namun tiba-tiba matanya terbuka lebar. Ia langsung bangkit dari berbaringnya dan kembali membuka ponselnya.

“Benar! Aku bisa menanyakan hal itu padanya!” Yuri tampak menimbang-nimbang. Ia menggigit bibirnya. Kebiasannya jika sedang kebingungan, gugup, ataupun ragu.

“Tidak masalahkan? Aku hanya ingin bertanya kondisi Jina. Tidak lebih...” Ia meyakinkan dirinya.

“Itu tidak aneh, kan? Dia tidak akan mengira yang macam-macam, kan? Jina adalah kakakku, justru lebih aneh lagi jika aku tidak ada bertanya seolah aku tidak peduli.” Yuri menganggukkan kepalanya pasti. Ia mengecek ponselnya lagi.

“Kemarin malam orang itu datang kemari, berarti jadwal selanjutnya adalah... malam besok!”

Jantung Yuri kembali berdegup. Ia tidak pernah bisa bekerja sama dengan jantungnya. Yuri tersenyum tipis kemudian. Lebih tepatnya tersenyum hambar. Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya menyamping.

“Salah satu yang membuatku tidak menyukaimu adalah karena dia, Eonni.” Yuri memejamkan matanya dan setetes air mata jatuh dari sudut matanya.

“Sepertinya aku yang salah di sini...”

“Aku mencintai lelaki yang mencintai gadis lain.”

“Dan gadis itu adalah kakakku sendiri.”

Yuri meremas ponselnya erat. Ia memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Ia hampir tak bisa bernapas seolah ada yang mengikat paru-parunya.

“Kenapa aku mencintai pria yang tidak pernah bicara padaku?”

Tears of HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang