19

750 89 17
                                    

Budayakan klik bintang dan banyakin komen dong biar Mimmi makin semangat🤗

Eonni, kau sudah bangun?” Tanya Yuri terkejut saat masuk ke dalam kamar Jina. Jina tampak sudah duduk di atas tempat tidurnya.

Mwoya...? Eonni bahkan merapikan tempat tidurmu sendiri?” Tanya Yuri. Jujur saja ia cukup terkejut. Selama ini yang selalu merapikan kamar Jina adalah dirinya jika Eomma nya sedang tidak sempat. Jina mengangguk sambil tersenyum.

Eonni sudah mandi?” Tanya Yuri lagi. Jina seketika menarik kembali turun sudut bibirnya. Yuri heran apa dia sudah salah bertanya. Tapi dari respon gadis itu tampaknya dia memang belum mandi.

Eonni bisa mandi sendiri kan?” Tanya Yuri hati-hati. Jina kemudian terlihat menekuk wajahnya. Yuri jadi merasa bersalah. Padahal dia tidak bermaksud apapun.

“Ayo, kita mandi. Aku sudah mandi jadi Eonni juga harus mandi. Aku yang akan membantu Eonni.” Ucap Yuri dibalas dengan ekspresi terkejut milik Jina.

Khusus di kamar milik Jina, ada kamar mandi kecil yang sengaja dibuat untuknya. Jadi dia tidak perlu keluar masuk kamarnya hanya untuk ke kamar mandi. Yuri menutup pintu dan menguncinya sebelum melangkah kembali mendekati Jina. Ia tahu tidak mungkin Dokter Cho menerobos masuk tanpa permisi. Tapi dia hanya ingin berjaga-jaga saja.

Yuri membantu Jina membuka pakaiannya. Awalnya ia memang sangat mengagumi betapa putih, bersih, dan mulusnya kulit Jina. Jika ia boleh melebih-lebihkannya, kulit Jina terlihat seperti porselen.Yuri saja menyentuh Jina dengan sangat hati-hati seolah gadis itu akan hancur jika disentuh terlalu kuat. Jina pun memang bergerak sangat pelan, tidak gesit seperti kebanyakan orang. Hingga benar-benar membutuhkan kesabaran saat membantunya.

Eo-eonni...” Yuri membelalakkan matanya. Pakaian Jina yang sudah terlepas sempurna terjatuh dari tangannya. Tubuhnya otomatis mundur ke belakang. Kedua tangannya berusaha menutup mulutnya agar tak bersuara. Yuri langsung terduduk setelahnya. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menatap Jina tak percaya, sedangkan yang ditatap hanya bisa diam. Memeluk kedua lengan atasnya sembari memejamkan mata.

***

"Kau menemuinya?" Tanya seorang gadis. Lawan bicaranya hanya menganggukkan kepala malas. Gadis itu menggigit bibirnya mencoba menahan emosi.

"Kapan?"

"Kemarin sore."

"Lalu apa yang dia katakan? Apa dia masih tidak mau memaafkanmu?" Nada dari pertanyaannya lebih tinggi. Tampak menggebu.

"Apa gunanya kau tahu?"

Sang gadis ingin sekali menumpahkan seluruh isi cangkir kopi panas itu di wajah lawan bicaranya. Bagaimana bisa dia bicara semudah itu? Kenapa susah sekali berbicara baik-baik dengannya? Ia hanya ingin segera menyelesaikan masalah ini.

"Dengan dirinya memaafkanmu berarti dia juga sudah memaafkanku." Ucapnya hampir berteriak.

"Dengar baik-baik. Aku tidak tahu kenapa aku mau menemuimu hanya untuk ini. Sudah kukatakan, jangan pernah menghubungiku lagi apapun alasannya. Jangan mengganggu hidupku lagi. Kau mengerti?"

"Yak, saekkiya!!!" Ia membanting meja dengan keras. Membuat semua pengunjung lain di kafe itu memandang ke arah mereka.

"Kau gila?" Ucap lawan bicaranya.

"Kau menyalahkanku?! Aku yang menyebabkan semua ini?! Dimana otakmu??!" Ia tak bisa menahan emosinya lagi.

"Aku memang datang padamu malam itu. Tapi bukan dengan niatan buruk. Dan kau malah menyuruhku masuk dan membuatku jatuh dalam rayuan busukmu. Kau yang meminta! Lalu aku bisa apa saat kukira kau memang membalas perasaanku?!"

Tears of HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang