Suara pintu aula yang ditutup dengan cara dibanting mengagetkan Vanya dan yang lainnya. Vanya yang saat itu sedang mengetik jadwal pertandingan bersama Indah langsung menolehkan kepala ke depan. Terlihat Abra dengan kasar menarik baju lelaki -yang Vanya ketahui bernama Yeremi- dari belakang membuat Si empunya tertarik dan langsung berdiri menghadap Abra.
"saya nyuruh kamu apa kemarin?!" Abra menatap tajam Yeremi. Sedangkan Yeremi terlihat sedang pura-pura berpikir sambil tersenyum.
"apa ya? Oh iya iya. Tapi gue lupa ngerjainnya" Yeremi tersenyum mengejek kepada Abra.
"lo tau gak itu penting banget?!" Abra mencengkram kerah baju Yeremi. Bahkan sekarang Abra terlihat menakutkan di mata Vanya. Semua orang di ruangannya itu menahan nafas melihat adegan itu. Sedangkan Arga langsung turun tangan menarik badan Abra agar tangan Abra melepaskan cengkramannya. Tapi kekuatan Abra mencengkram baju Yeremi sangat kuat hingga membuat tangannya sendiri memerah.
"gue tau sih..tapi gue males.." ucap Yeremi sambil mendekatkan wajahnya yang sudah merah karena tercekik ke wajah Abra dengan tersenyum mengejek membuat mata Abra semakin menyalang melihat Yeremi.
"gue udah capek tau gak! Awalnya gue semangat. Tapi begitu ketuanya elo, gue jadi males! Di sekolah elo, di sini juga elo. Haus jabatan banget lo! Gue muak."
Arga melepaskan tangannya dari badan Abra kemudian dia berjalan ke arah laptopnya seolah memperbolehkan Abra menyerang Yeremi. Sepertinya Arga juga sudah geram terhadap Yeremi.
Namun di luar prediksi, Abra tak menyerang Yeremi meskipun emosi sudah meliputi dirinya. Ia melepaskan cengkramannya dari kerah Yeremi dan menggepalkan tangan di sisi badannya seakan siap bila kapan saja dia hendak meninju Yeremi. Dadanya juga turun naik dengan cepat menandakan emosinya bisa kapan saja meledak. Namun sedetik kemudian dia mengehela nafas dan menolehkan kepalanya ke arah lain.
"oke lo boleh keluar dari ruangan ini. Dan detik ini juga, lo bukan panitia Festival lagi" dada Abra masih turun naik dan gepalan tangannya masih berada di sisi badannya. Bahkan, untuk pertama kali seluruh panitia mendengar Abra menggunakan 'gue' 'elo'.
"haha akhirnya gue dikeluarin juga" Yeremi berteriak puas. Kemudian dia mendekatkan kepalanya ke wajah Abra lalu meniup wajah Abra membuat cowok itu memejamkan mata menahan sabar.
Yeremi mengambil tas dan sepatunya kemudian keluar dari aula. Abra masih diam di tempat. Semua panitia masih diam dengan wajah yang shock. Kejadiannya tepat di depan mata mereka. Dari awal sampai akhir.
"Abra gak pernah semarah ini" Jeha berbisik di telinga Vanya.
"sekarang, yang udah males dan capek kerja di sini juga, saya persilakan keluar" ucap Abra yang masih diam di tempat.
Semuanya diam tak berani bergerak. Sampai seseorang berdiri dan beberapa lainnya menyusul berdiri. Mereka langsung mengambil tas dan berjalan keluar. Vanya melihat kearah Dion. Dalam hati Vanya bersyukur Dion tidak ikut-ikutan keluar dan anak-anak dari sekolahnya tidak ada yang bergerak. Dion masih di tempat masih memegang gunting bergambar kelinci bewarna pink di tangannya.
"sorry Ab.. gue sebernernya udah seminggu ini gak diizinin lagi sama orang tua gue. Tapi gue nyuri-nyuri keluar rumah. Sampai akhirnya gue ketahuan dan gue sama sekali ga dikasi uang. Sorry ya Ab.." seorang perempuan bernama Ayu berbicara kepada Abra dan membuat cowok itu memalingkan wajah ke arah kanan. Mengelak melihat cewek itu. "pergi." Ucap Abra. Akhirnya, Ayu pun keluar dari aula.
Walaupun tangan Abra sudah tak menggepal tapi auranya masih terlihat menakutkan. Arga sedang berkutat dengan laptopnya seakan punya dunianya sendiri. Sementara Reyhan sedang berdiri di dekat pintu bersalaman dengan orang-orang yang ingin keluar itu. Mengucapkan terima kasih atas waktunya selama ini mereka habiskan di sini. Berbeda dengan kedua orang itu Abra dan Arga, Reyhan masih bisa menampilkan senyumnya pada mereka. Setelah selesai, Reyhan menghampiri Abra dan menepuk-nepuk bahu Abra menguatkan Abra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.