"yaampun Vanyaaaaaa! Muka lo sama panitia-panitia acara itu tuh bikin gue kasian tau ga" Ajeng berteriak heboh saat mereka sedang makan di kelas pada jam istirahat. Sementara Vanya berbaring di meja dengan menggunakan tangan kanannya sebagai bantalan.
"gue butuh waktu tidur bentar plis" ucap Vanya dengan sedikit serak.
Memang, Vanya semalam baru pulang pukul 11 malam dan seperti ditiban tangga, dia diingatkan oleh ketiga sahabatnya akan tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Yang lebih parah tugasnya gak sedikit. Jadilah ia baru bisa menyentuh kasur pada jam 1 tengah malam.
"tuh! Suara serak, mata panda, muka lecek banget" Dona bergidik ngeri.
"masa sih?!" Vanya menegakkan kepalanya dan menghadap Dona.
"iya!" Dona, Ajeng dan Shilla berteriak serempak.
Vanya kembali membaringkan kembalinya di meja.
"eh kita ntar jadi ga Shil??" Ajeng kembali membuka suara.
"jadi dong! Lu ikut ga Nya?"
"eh apaan sih. Vanya mau istirahat tau" ucap Dona perhatian.
"eh apaansih. Gue ikutlah, udah lama gue ga main. Mau kemana sih?" Vanya meneggakkan kepalanya.
"nonton"
"ya ikutlah gue" ucapnya sambil kembali membaringkan kepalanya kembali memejamkan matanya sejenak.
Baru sedetik Vanya memejamkan matanya, bel masuk pun berbunyi. Membuat Vanya gemas sendiri dan teman-temannya tertawa.
***
Terhuyung-huyung Vanya mencoba untuk menggapai sofa rumahnya. Bukan, bukan karena dia mabuk-mabukkan. Tapi karena badannya cukup letih karena habis berkeliling mal bersama teman-temannya. Ah, terlalu lebay kalau mengatakan berkeliling. Bahkan mereka hanya ke bioskop dan mampir ke timezone. Saat di bioskop pun, ia tertidur karena wangi seseorang di sampingnya sangat membuatnya nyaman. Jadilah dia meringkuk tidur dengan kepala menghadap ke arah sampingnya. Mungkin faktor kurang tidur juga. Dia sampai dibilang payah oleh teman-temannya.
Namun saat di timezone Vanya sangat bergerak lincah menggerakkan kakinya menurut gambar arah dilayar permainan itu. Ia juga paling banyak mendapatkan poin daripada teman-temannya saat mereka bermain basket. Itulah sebabnya badannya terasa mau remuk sekarang. Ditambah dengan rasa lengket dan gatal di tubuhnya menuntut ia harus segera mandi. Mereka memang masih mengenakan baju sekolah saat pergi ke mal tadi.
"duh anak ayah dekil banget sih. Sana mandi dulu, baru kita makan malem. Ayah udah delivery pizza hut" ucap ayah membuat Vanya langsung meloncat pergi untuk mandi.
Setelah selesai bersih-bersih diri, Vanya keluar kamar dan langsung pergi menuju meja makan. Saat di tangga saja bau makanan sudah tercium.
"malam ayah.." Vanya menggeser kursi meja makan yang akan didudukinya.
"malam sayang, kita malam minggu dirumah aja ya"
Yup, sekarang memang malam minggu. Dan Vanya yakin jalanan sedang macet parah. Huh, untungnya hari Sabtu dan Minggu tidak ada kumpul panitia.
Tanpa aba-aba lagi, Vanya langsung melahap spicy wing yang sudah menggugah selera Vanya dari tadi.
"besok kamu istirahat aja ya. Jangan kemana-mana. Tuh, mukanya keliatan capek."
"Memang aku gaada niatan kemana-mana Yah, mau tidur sampai sore" hampir saja dia ingin mengatakan itu tapi tertahan ditenggorokan.
"oke Yah" ucap Vanya dengan mulutnya yang penuh dengan makanan.
"Nya.." ayah kembali bersuara setelah beberapa saat hening.
"apa?"
"ayah lagi jatuh cinta deh"
Sama yah
Eh suara siapa tuh. Rutuk Vanya dalam hati.
Vanya melirik ayahnya yang sedang mengaduk-ngaduk makanannya tanpa berani sedikitpun menoleh kepada Vanya.
Yaampun, ternyata begini wajah ayah kalo lagi salting. Vanya hampir tertawa melihat wajah ayahnya yang memerah tapi Vanya tahan sekuat tenaga.
Cukup. Vanya tak tahan lagi. Vanya tertawa terbahak-bahak membuat ayah akhirnya menoleh kepadanya.
"kok kamu ketawa sih? Ngakak banget lagi" ayah mengerutkan dahinya.
"abis- abis muka ayah merah banget. Masa sama anak sendiri salting" ucap Vanya di sela-sela ketawanya.
"engga kok" ayah kembali menghadap makanannya.
"kira-kira, kamu izinin gak kalo ayah nikah lagi?" ucapan ayah sukses menghentikan tawa Vanya.
Ayah menoleh ke Vanya, dan Vanya melihat wajah ayah. Kemudian ayah kembali menghadap makanannya.
"ka-kalo kamu ga-"
"yah, ayah.. liat Vanya" Vanya menggenggam tangan ayah. Membuat lelaki 43 tahun yang berkelakuan seperti anak ABG sekarang ini menoleh.
"kalo itu buat ayah seneng, Vanya bolehin kok.. emang kapan Vanya pernah ngelarang ayah buat nikah lagi?" Vanya melepaskan genggamannya dan kembali melanjutkan makan.
Ayah melihat anaknya dengan terharu. Terharu karena Vanya bisa bersikap dewasa seperti sekarang ini. Walaupun tanpa keberadaan sosok ibu di kehidupan Vanya dari kecil, tapi Vanya bisa bersikap seperti apa yang diinginkannya.
"jadi? Ibu baru Vanya mau datang sekarang?" Vanya menoleh kearah ayahnya.
"jangan sok terharu" canda Vanya membuat ayahnya tertawa dan melanjutkan makan.
"ya engga. Nanti kalau semuanya ada waktu. Jadi suasananya jadi lebih santai" suara ayah Vanya sudah terdengar lega.
"iya. Huh, aku juga lagi jelek begini. Malu dong" Vanya mengangkat bahunya. Kemudian ayahnya tertawa dan mengusap kepala Vanya.
***
haloooooo. aku balik lagi buat ngepost cerita ini hehe. sayang banget soalnya kalo mendekam d laptop ajaaa. jadi dengan berbaik hati, aku post d wattpad hehe. selamat membaca<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.