Seorang wanita dengan sepatu boots hitamnya keluar dari taksi yang baru saja berhenti. Setelah Sang sopir taksi tersebut mengeluarkan sebuah koper besar dari dalam bagasi dan mendapatkan bayaran, taksi pun melaju meninggalkan wanita tersebut.
Baru selangkah wanita itu berjalan, dering ponsel yang berbunyi membuat ia mengaduk-ngaduk tas tangannya. Sambil tersenyum wanita itu menatap nama penelponnya kemudian ia pun menggeser bulatan berwarna hijau di layar ponselnya.
"astaga. Thanks god, finally!" terdengar suara desahan pasrah dari ponsel membuat senyum wanita itu tak lepas dari wajah cantik yang terbingkai oleh hijab cream-nya.
"ada apa Bet?"
"ada apa lo bilang?! Hey listen, gue disini pusiiiiiing mikirin lo yang tiba-tiba raib. Apartement kosong, di WA, sms, line gabales, ditelpon juga gaaktif. Lo kemanasih sih darling.. sayangku, cintaku. Ini jadwal tampil lo padet.. kalo lo gaada siapa yang mau nampil? gue???" cerocos seorang wanita di ujung sana membuat wanita yang mendengarkannya menggerakkan mulutnya sesuai dengan apa yang dibicarakan wanita di ujung telfon kemudian tertawa kecil.
"gue..." wanita berhijab itu memandang gapura di hadapannya "di perbatasan dunia dan surga"
"hah? Apa? Eh lo jangan maen-maen ama gue ya. Gue mau lo ke apartement sekarang juga."
"i'm in Jakarta"
"hah? Apa? Jakarta? Indonesia?"
Wanita berhijab itu menghembuskan nafas. "Jakarta ada dimana lagi Bet?"
"lo... bisa gak sih beb gak buat gue shock mulu.." terdengar ingus yang disedot dari ujung telepon membuat wanita 26 tahun yang sedang menarik koper geleng-geleng kepala.
"Bet, cancel jadwal gue sampai seminggu kedepan. Setelah itu gue balik, gue janji."
"astaga beb. Gue jantungan plis tolong gue sekarang juga. Gue harus bilang apa sama mereka beb.."
"Beatrice, gue gamau tau ya lo bilang apa. Atau bilang aja gue ada acara keluarga yang mendadak. Udah dulu ya Bet, keluarga gue udah nunggu. Tunggu gue di sana dan lo bakal dapet bonus. Bye" terdengar suara yang hendak membantah dari ujung sana namun sambungan langsung diputuskan oleh satu pihak.
Wanita berhijab itu mulai memasuki area tanah coklat yang lembab. Suasananya sepi. Di hadapannya terdapat banyak gundukan-gundukan tanah yang ditutupi oleh rumput hijau. Ia tersenyum kecil dan mulai berjalan menyusuri jalan kecil di antara gundukan-gundukan tanah tersebut. Setelah sampai ke tempat yang ia tuju, ia melihat sebuah nama yang diukir di batu nisan. Dengan baru melihat nama itu saja matanya sudah memanas. Ia berjongkok di samping gundukan tanah tersebut.
"Vanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya Galuh yang saat itu sedang mengayunkan ayunan di samping rumah orang tua Galuh yang berada di daerah perdesaan yang sunyi.
"jadi dokter" jawab Vanya yang kala itu berumur 8 tahun.
"kenapa Vanya mau jadi dokter?" tanya Galuh lagi sambil melambungkan ayunan Vanya dengan tidak terlalu kuat.
"hmm.. biar keren nanti pake stetoskop kaya Dokter Jasmine yang nyembuhin Vanya tifus kemarin."
Galuh tertawa mendengar ucapan polos anaknya tersebut. "loh kok biar keren? Harusnya kamu jawabnya biar bisa nyembuhin orang yang sakit, bukan biar keren"
"kan bisa nyembuhin orang yang sakit itu keren yah" Vanya memutar sedikit kepalanya untuk melihat Galuh di belakang.
"iya iya.. mau jadi apapun kamu nanti, kamu harus ikhlas. Kerja itu bukan hanya untuk cari uang, tapi biar kamu berguna untuk orang lain. Ayah selalu bangga mau jadi apapun kamu nanti" Galuh menghentikan ayunan Vanya dan menahan tali agar ayunan tersebut berhenti. "sekarang kita makan supaya kamu pinter dan bisa jadi dokter"
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.