"assalamu'alaikum. Ma, Abra pulang" Abra membuka sepatunya dan menaruhnya di lemari sepatu yang berada tepat di samping pintu rumahnya.
"maa?" Abra berjalan dari ruang tamu sampai ke dapur untuk mencari mamanya. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran mamanya. Abra melihat jam tangannya. Waktu hampir menunjukkan jam 10 malam. Abra menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar mamanya.
Disana mamanya sudah terlelap bersama adik perempuannya. Adiknya masih berumur 4 tahun. Chika namanya. Dia memang masih tidur bersama mama Abra. Setiap malam harus selalu dibacakan dongeng sebagai pengantar tidur. Tapi tak mengapa, itung-itung sebagai teman mama agar beliau tak kesepian. Pikir Abra.
Mereka berdua adalah bidadari-bidadari Abra. Abra yang harus melindungi mereka. Tanggung jawabnya sangat besar. Walau mamanya masih muda dan terlihat masih kuat dalam melakukan apapun, tapi Abra tau, hati mamanya sangat rapuh semenjak meninggalnya ayah Abra.
Waktu itu Abra masih SMP. Jiwa wibawanya sudah terlihat karena tidak ada sedikitpun air mata yang dia tampakkan saat ayahnya meninggal. Saat itu juga ia tau bahwa ia harus menjadi tameng bagi keluarganya. Dia yang menenangkan mamanya. Dan ia juga yang memeluk adiknya yang masih belum mengerti tentang sebuah kepergian untuk selamanya.
Abra mendekat ke tempat tidur dan hendak mencium kening mamanya. Namun saat itu pula Abra melihat foto ayahnya di pelukan mamanya dan ada air mata kering yang berada di sekitar mata mamanya. Hal itu yang meremas hati Abra selama ini. Abra menelan ludahnya yang tersangkut di tenggorokan. Kemudian dengan sangat pelan mencium kening mamanya. Kemarin mamanya -dengan rasa takut- meminta izin pada Abra untuk menikah lagi. Padahal dengan senang hati ia akan mengiyakan jika itu yang membuat mamanya bahagia. Mungkin ini adalah tangisan mama untuk meminta izin kepada almarhum ayah.
Ia berjalan kesisi lain tempat tidur dan mencium adik perempuannya. Abra sangat menyanyangi adiknya. Ia begitu memanjakan adiknya. Karena ia tau, ia harus menggantikan peran ayah. Chika harus merasakan bagaimana rasanya memiliki ayah walaupun Abra pun tak bisa merasakannya lagi. Ia rela.
Abra tersenyum getir melihat Chika. Merasa kasihan melihat Chika. Walaupun sebenarnya yang perlu dikasihani adalah dirinya sendiri.
Setelah menutup pintu dengan pelan, Abra pergi menuju kamarnya. Sedikit bersih-bersih diri di kamar mandi dan salat isya karena ia belum melaksanakannya. Kemudian setelah itu, ia membuat tugas-tugas sekolahnya yang semakin hari semakin banyak. Berbanding lurus dengan kesibukannya.
Abra bercita-cita menjadi arsitektur. Sebisa mungkin ia berusaha mendapatkan perguruan tinggi negri agar tak terlalu membebankan mamanya. Maka dari itu, ia sangat giat belajar di tengah-tengah kesibukannya menjadi ketua OSIS. Mamanya selalu mewanti-wanti agar dia menyanyangi tubuhnya sendiri. Namun, sepertinya tubuhnya sudah bekerja sama dengannya. Walaupun ia hanya tidur 4 jam sehari, ia jarang sakit. Seperti hari ini, setelah merampung tugas-tugasnya, ia baru tidur jam 1 malam dan bangun jam 5 pagi untuk melaksanakan salat shubuh. Dan karena hari Minggu, ia memutuskan untuk lari pagi di sekitar kompleknya.
Ketika Abra pulang, mamanya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Dengan berpeluh keringat ia meminum air putih di dapur. Suara serial kartun di TV sampai terdengar ke dapur. Pasti adiknya yang menonton. Kebiasaannya adalah menonton kartun dengan melongo tanpa berkedip.
"Chikaa.. pelanin suara TV-nya.." mama Abra berteriak dari dapur. Abra tersenyum ketika mamanya berteriak dan ia berjalan menuju ruang tamu menghampiri adiknya.
Dengan jail, Abra mengacak-acak rambut ikal agak pirang milik Chika membuat adik perempuannya merenggut kesal.
"siapa yang mau digendongg?" tanya Abra sambil tersenyum pada Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.