PART 25 : BELIEVE IN MAGIC

21 3 0
                                    


Hari ini adalah hari keberangkatan Vanya kembali ke Wina. Managernya, Beatrice sudah berulang kali menelepon untuk menanyakan kepastian dari Vanya. Sampai telepon kelima, Vanya mengabaikan telpon dari managernya itu. Perempuan itu terkadang membuat Vanya kesal. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan perbedaan waktu 5 jam dengan Jakarta lebih cepat, pasti waktu di Wina sekarang ini sekitar jam 12 malam. Apa perempuan itu tidak tidur?!

Setelah melipat kembali mukenanya, Vanya keluar kamar dan menuju balkon rumah untuk menikmati udara shubuh hari yang masih sejuk. Tidak begitu sejuk jika dibandingkan dengan Austria, tentu saja!

Ntah kapan Vanya akan pulang kembali ke tanah air ini pikirnya. Tiba-tiba Vanya memikirkan ucapan Abra yang menyinggung soal kapan Vanya akan tinggal di rumah lamanya yang Vanya jawab mungkin ketika ia sudah menikah.

Menikah? Yang benar saja!

Tidak begitu banyak pria yang Vanya terima keberadaannya ketika di Austria. Hanya dua atau tiga orang. Tidak sampai pacaran, hanya dekat karena mereka terlalu baik dan Vanya tidak tega harus menolak secara terang-terangan. Dan kata 'menikah' membuat Vanya sedikit ketakutan. Ia juga bingung kenapa hatinya tidak pernah tertarik pada semua pria yang mendekatinya.

Ketika tengah mencari-cari dimana letak kesalahan hatinya yang siapa tau konslet, tiba-tiba suara deheman membuat ia menoleh ke belakang.

Kenapa sih laki-laki itu suka sekali datang tiba-tiba. Bikin jantungan saja!

"barang-barang sudah beres semua?" dengan menggunakan sarung sebagai bawahan, laki-laki itu merapikan rambutnya yang tadi tertutup kopiah. Vanya mengangguk sebagai jawaban.

Mereka diam menikmati pemandangan langit yang masih gelap.

"gimana kamu ada di depan toilet waktu itu?" Vanya tiba-tiba iseng bertanya tentang kejadian 7 tahun lalu ketika pipinya terluka terkena pecahan beling. Vanya tersenyum kecil sambil melirik Abra yang terdiam lama. Hah mana mungkin dia mengingat kejadian kecil itu.

"cause magic went to people fall in love?" ucap Abra ragu. Sedangkan Vanya mematung mendengar kalimat itu. Ia menelan ludah gugup. Pelan ia menoleh ke arah Abra. Pandangan laki-laki itu masih lurus menatap pemandangan di depannya. Kemudian dia tersenyum kecil sambil menoleh ke arah Vanya.

"coba jelasin kenapa bisa dua orang yang berjodoh bisa ketemu di antara milyaran manusia di dunia ini?" ucap Abra membuat Vanya mengerutkan kening.

"itu karena ada magic" bisiknya.

Badan Vanya tiba-tiba melemas melihat wajah Abra yang tersenyum mengatakan kalimat itu. ia mengalihkan pandangannya ke arah depan. Wajahnya memanas dan debaran jantungnya di atas normal. Perutnya terasa seperti ketika ia menaiki wahana kora-kora di taman bermain.

Laki-laki itu kemudian tertawa. "enggak lah. Kata itu sebagai kiasan aja. Yang benar itu takdir. Kamu harus percaya sama takdir. Skenario tuhan itu pasti yang terbaik, walau ada duka di dalamnya."

Vanya terdiam kehabisan kata-kata untuk membalas semua perkataan laki-laki di sampingnya.

"oh ya, by the way karena kamu udah ingetin itu. Saya nagih janji kamu buat bales kebaikan saya dong. Ya.. bukannya gak ikhlas sih. Tapi karena kamu sudah janji, janji harus ditepati kan?"

Vanya mencoba mengingat-ingat lagi kejadian waktu itu.

"hmm.. plesternya gue ganti dengan yang lain aja ya kapan-kapan" itu dia. Vanya ingat. Dan sekarang ia sedang mengutuk diri kenapa dia bilang begitu ke Abra. Harusnya dia lanjut jalan aja tanpa berhenti lagi.

Believe in MAGIC [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang