Sudah sekitar 7 bulan semenjak acara pembubaran panitia di rumah Dion yang penuh tangis dan tawa. Sudah sebulan juga mereka tidak bertemu lagi. Jangankan untuk bertemu, grup chat saja sudah sepi. Vanya sempat rindu pada keluarga keduanya itu. Tapi ia mencoba mengerti akan kesibukan masing-masing dari mereka. Apalagi rata-rata dari mereka sudah naik ke kelas 12 yang mungkin sudah sibuk belajar dan mengikuti bimbel.
Lalu.. sudah 7 bulan juga juga ia tidak bertemu dengan Abraham. Setelah acara bersalaman waktu itu, Abra langsung berpamitan kepada semua teman-temannya untuk pulang. Tampak sekali bahwa ia sedang buru-buru.
Berhubungan di dunia chatting pun tidak, karena semua urusan kepanitiaan sudah selesai. Bahkan video after movie pun sudah diluncurkan, sehingga tak ada alasan lagi bagi Vanya untuk modus menghubungi Abra.
Suara gesekan antara kursi dan lantai membuat Vanya mendongakkan kepalanya dari laptop di hadapannya. Dengan gaya penuh percaya diri Dion melipat laptopnya dan menggulung casan laptopnya. Saat Vanya baru menyelesaikan 30 soal bahasa indonesia-nya, Dion sudah selesai mengerjakan dan tersenyum dengan gaya sok cool yang ia punya. Yup, hari ini adalah hari terakhir ujian semester ganjil mereka.
Vanya hanya tersenyum melihat Dion yang mengeluarkan jari tengahnya pada semua orang yang duduk di belakang saat ia selesai menutup resleting tas-nya. Terdengar cekikikan juga dari teman-teman sekelasnya membuat bu Herma mendongakkan kepalanya dan menyuruh mereka untuk tenang kembali.
Setelah Dion keluar dari ruangan ujian, Vanya kembali memfokuskan diri pada laptop di hadapannya untuk mengerjakan ujian berbasis komputernya.. Tinggal 20 soal lagi, dan semuanya selesai. Tidak ada lagi aktivitas belajar hingga tengah malam, tidak ada lagi beban pikirannya, ia berjanji akan mengistirahatkan dirinya dengan tidur sepuasnya nanti setelah pulang sekolah.
Semester 5 ini kata orang adalah puncak dari perjuangan dari semester-semester sebelumnya. Setelah ini, rapor mereka akan dikirim untuk diseleksi SNMPTN. Vanya sudah bosan mendengar kata-kata "nilainya harus naik nak, jangan naik turun gak konsisten" khas Pak Chandra. Ia malas mendengar ceramah bapak itu lagi dibawah terik matahari ketika sedang upacara bendera.
Dan untuk hal itu, Vanya sudah yakin bahwa nilai-nilai rapornya selalu naik tiap semester dan ia yakin mampu menembus ke fakultas kedokteran ke universitas yang ia inginkan. Ia sudah beberapa kali konsultasi dengan guru bk dan ia pun mendapat dukungan dari guru bk tersebut karena Vanya termasuk kedalam jajaran siswa terpintar di angkatan. Tidak banyak saingannya yang menginginkan fakultas dan universitas yang sama dengan Vanya. Hanya satu orang. Dan di semester inilah mereka akan melihat nilai siapa yang lebih tinggi.
Submit
Setelah meng-klik kotak biru yang berada di layar, ia pun langsung menutup laptopnya dan berkemas untuk keluar dari ruangan ujian. Ternyata sudah banyak teman-temannya yang lain yang keluar ruangan ujian menyusul Dion.
Tampak wajah-wajah bahagia dari mereka semua. Tidak ada lagi pembahasan mengenai jawaban ujian yang telah mereka isi tadi. Mereka seolah tak peduli dan hal itu membuat Vanya tersenyum lega. Vanya tak sanggup lagi jika harus membahas jawaban mereka. Kini yang keluar dari mulut mereka adalah tempat mana yang akan mereka datangi untuk mengisi perut keroncong mereka serta teriakan kebahagiaan bahwa ujian telah selesai.
***
Hari ini adalah hari Minggu. Setelah Vanya berhibernasi semalaman, ia bangun dengan wajah yang penuh senyuman. Senyuman karena kepalanya kosong tanpa beban. Karena ia tidak sibuk memikirkan apapun, akhirnya ia bangun dan memutuskan untuk jogging mengelilingi komplek rumahnya. Rasanya ia sama sekali tak ada olahraga selama sebulan penuh ini.
Setelah mengenakan pakaian yang sesuai untuk jogging, Vanya meraih ipod dan headseatnya lalu dengan gesit ia keluar kamarnya.
"ayah, Vanya jogging dulu yaa. Dadah.." ayahnya yang saat itu sedang menyemprotkan air menggunakan selang ke mobil fortuner putih kesayangannya hanya melongo melihat anak gadisnya yang terlampau ceria pagi itu. Setelah itu Galuh hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya.
Setelah Si mobil kesayangan ayah bersih, ayah Vanya lalu merapikan selang dan ember sabun berwarna hijau dan tepat saat Galuh hendak masuk ke dalam rumah dengan membawa ember hijau itu, bunyi klakson mobil yang berhenti di rumah mereka membuat Galuh berbalik badan dan membetulkan letak kacamatanya untuk melihat jelas siapa yang datang ke rumahnya pagi ini.
Seorang anak kecil berambut ikal berlari menghampiri Galuh dan di susul oleh pemuda tampan yang memakai kaos oblong berwarna hitam serta celana training berwarna hijau lumut.
Abra tampak berlari kecil mengejar Chika sambil membawa sekantong kresek berwarna putih.
"Chika, mas bilang jangan keluar dulu biar abang yang bukain pintunya. Kalo ada kendaraan yang lewat trus kamu ketabrak gimana.."
"iya maaf, Chika lupa" Chika tampak menepuk dahinya sendiri sambil menatap Abra yang sudah berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan Chika.
"Abra, Chika.. yaampun, ayo ayo masuk yuk dalam rumah." Suara Galuh membuat kakak beradik itu menoleh dan tersadar bahwa di sana sudah ada Galuh. Galuh tampak sumringah menyambut kedatangan mereka dan langsung membukakan pintu lebar-lebar mengajak mereka masuk.
Melihat itu, Chika langsung berlari menghampiri Galuh sedangkan Abra mengangguk sopan sambil tersenyum ke arah Galuh.
"ada apa Abra? Ada yang bisa om bantu?" tanya Galuh sambil tersenyum setelah mereka bertiga masuk kedalam rumah.
"enggak om. Kami kesini cuma mau nganterin titipan dari mama. Katanya sarapan buat om dan Vanya."
"waduh.. makasih banyak loh udah repot jauh-jauh datang kemari. Tapi.. kebetulan Vanya-nya lagi gak ada nih, dia jogging katanya" ucap Galuh
Alhamdulillah banget gue, batin Abra mengucap syukur. Namun setelah itu ia jadi waspada dan melihat ke arah pintu rumah takut-takut Vanya muncul dari sana sepulang dari jogging.
"Gak repot kok om, sekalian ngajak Chika jalan-jalan pagi juga. Hmm, yaudah kalo gitu saya dan Chika pamit pulang dulu deh om." Ucap Abra sambil membungkukkan badannya.
"loh kok buru-buru. Ayo kita sarapan bareng dulu. Kalian udah sarapan?" tanya Galuh basa-basi yang dibalas anggukan oleh Chika.
"udah om, kami udah sarapan. Kami mau pamit pulang aja om, mama sendiri di rumah" ucap Abra sambil melihat-lihat waspada kearah pintu.
"ohh gitu.. yasudah hati-hati ya Abra bawa mobilnya. Jagain adik kamu"
"oh iya om, siap" setelah mereka berdua bersaliman kepada Galuh, akhirnya mereka pulang dengan langkah Abra yang terburu-buru. Bukannya Abra tidak ingin bertemu dengan Vanya, tapi bukan di momen seperti ini. Ia masih belum siap untuk ketahuan oleh Vanya bahwa mereka akan menjadi kakak beradik. Hanya.. waktunya belum tepat. Itu saja. Tapi suatu saat pasti ia sendiri yang akan memberi tahu Vanya.
Tepat saat Galuh sedang membuka tempat bekal yang diberi oleh mama Abra di meja makan, Vanya masuk sambil membuka jilbab dan headset yang dipakainya. Beberapa helai rambutnya menepel di dahi karena basah oleh keringat.
"wahhh macaroni schotel, pas banget ga sih broo" Vanya langsung menggeser kursi meja makan untuk duduk menyantap sarapan.
"bra bro bra bro, udah sana lap dulu keringet kamu. Hih jorok banget" ucap Galuh sambil menjauhkan tempat yang berisi macaroni schotel.
"ih ayah mah"
"coba tebak yang nganterin ini siapa?" ucap Galuh sambil menyendokkan macaroni schotel ke piring di hadapan Vanya.
"hmm.. tetangga sebelah?"
"salah."
"bos ayah?"
Galuh mendelik karena ucapan ngawur Vanya.
"salah. Yang benar anaknya tante Feby"
"oh yaaaaaa."
"hmm enak banget loh Yah. Vanya mau deh punya mama baru yang bisa bikin makanan enak begini." Galuh hanya tersenyum sambil membetulkan rambut-rambut Vanya yang menempel di dahi dan pipinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.