Hari ini –entah hari keberapa liburan, Vanya dan ayahnya sedang masak bersama untuk mempersiapkan makan malam spesial karena kata ayah tante Feby dan anak-anaknya akan datang untuk berkenalan dengan Vanya. Sebenarnya acara makan malam bersama ini sudah sejak lama direncanakan, tetapi karena Vanya masih sibuk ujian jadilah baru dilaksanakan sekarang.
Ngomong-ngomong soal anak tante Feby, Vanya jadi kepo apakah dia masih sekolah atau sudah lulus. Kan lumayan kalau ternyata anak tante Feby yang bakal jadi abangnya itu sudah kuliah. Pasti seru banget punya abang yang bisa Vanya ajak kemana-mana. Soalnya Vanya suka iri sama Dona yang punya abang. Mereka berdua mirip orang pacaran kemana-mana berdua. Selama Vanya kenal Dona, keliatan banget kalau abang Dona protektif dan manjain Dona banget. Huh, Vanya kan juga mau kaya begitu.
"yah, anaknya tante Feby yang gede udah lulus sekolah ya? Kuliah?" Vanya mengangkat sendok yang digunakannya untuk menyendok abon dengan wajah yang layaknya sedang berpikir.
Ayah tertawa melihat wajah Vanya yang tercolek tepung di bagian pipinya.
"muka kamu itulo. Awas aja kalau sampai anak tante Feby sakit perut gara-gara makan roti abon buatan kamu. Proses pembuatannya gak higienis gitu" ucap ayah yang entah kenapa tumben-tumbenan memakai medok jawa-nya.
"his. Tuh liat, belum nikah aja Vanya udah dipilih kasihin. Gimana kalau udah nikah. Bisa jadi Cinderella Vanya." Vanya melempar segenggam tepung yang diambil dari plastik kearah ayahnya membuat Galuh kabur sambil tertawa.
"hahaha enggak lho. Nanti kamu lihat sendiri anaknya gimana. Pokoknya kejutan buat kamu. Kamu pasti seneng." Ayah tersenyum. Setelah itu ia melepas kacamatanya yang kotor karena tepung.
"idih pake kejut-kejutan segala."
***
Harum masakan sudah memenuhi ke segala penjuru rumah Vanya. Kini meja makan sudah dipenuhi oleh berbagai masakan. Mulai dari nasi, lauk pauk, kue, dan buah-buahan. segalanya dipersiapkan dengan baik oleh ayah dan anak di rumah itu.
Kini Vanya baru menapaki anak tangga terakhir setelah ia berias diri di lantai atas. Ayahnya yang sudah rapi memakai kemeja hitam masih sibuk memberikan sentuhan-sentuhan terakhir pada piring dan sendok garpu di meja itu.
"udah deh.. bukan presiden kok yang mau makan malam bareng kita yah.." Vanya mengambil tempat di samping kursi utama yang akan ditempati ayahnya, tempatnya yang biasa dia duduki setiap makan berdua bersama ayahnya.
Malam ini Vanya yang memakai gaun sederhana berwarna peach dengan motif floral yang tampak anggun dan dipadukan dengan jilbab berwarna senada. Karena hari ini adalah hari yang menurutnya spesial, maka ia memakai makeup tipis agar wajahnya terlihat segar. Tidak terlalu menor, hanya mascara, blush on tipis dan lip gloss yang membuat bibir pink-nya mengkilat.
Dengan senyuman Vanya memperhatikan ayahnya yang sangat berbeda hari ini. Binar bahagia dari wajahnya tampak terpancar walau sekarang ia sedang serius menentukan buah apakah yang paling cocok diletakkan di bagian puncak susunan buah. Buah jeruk atau buah apel. Setelah ia menimang-nimang akhirnya buah pir lah yang menjadi pilihannya.
Vanya tidak bisa menahan tawanya yang sejak tadi ia tahan. Ah ayahnya sangat menggemaskan.
Tak lama, terdengarlah bunyi bel rumah mereka. Itu pasti mereka.
Vanya menggeser kursi dan berdiri dari tempat duduknya hendak menuju ke pintu. Namun suara ayah membuat Vanya berbalik memandang ayah.
"biar ayah aja Nya, kamu coba ke dapur liat penghisap asap udah dimatiin belum ya. Ayah lupa. Kalau belum tolong matiin ya Nya" tuturnya. Setelah itu ayah Vanya menghirup nafas dalam dan menghembuskan kembali. Kemudian ia berjalan menuju pintu hendak menyambut pujaan hatinya. Ah, pujaan hati. Kaya ABG saja.
Vanya pun melaksanakan apa yang disuruh ayahnya. Setelah mematikan alat penghisap asap itu, Vanya pun berjalan kembali ke ruang makan dan duduk di kursinya semula. Bertepatan dengan itu, ayah masuk dan diikuti seorang wanita berumur 30-an dan seorang anak kecil yang menggemaskan. Itu pasti tante Feby, batinnya.
Vanya pun berdiri kembali dari kursi dan tersenyum menyambut kedatangan mereka. Kemudian mata Vanya beralih melihat seseorang yang berjalan di belakang tante Feby dan gadis kecil tadi. Seperti ditimpa bola salju saat panasnya terik matahari kota Jakarta, Vanya terkejut bukan main melihat lelaki berkemeja biru donker berjalan pelan sambil melirik ke arahnya. Lelaki itu mengangguk kaku saat matanya bertatapan dengan Vanya.
Ini tidak mungkin. Dunia tidak mungkin sesempit ini. Tidak. Ini pasti hanya bunga tidur. Vanya ingin bangun sekarang juga.
Seingat Vanya, ia tidak pernah melakukan dosa yang begitu besar hingga Tuhan ingin menghukumnya seperti ini. Tuhan tidak mungkin sekejam ini. Vanya pernah diajarkan oleh ayah untuk menebarkan kebaikan karena kita pasti akan mendapatkan hasil panen dari benih yang kita tebar tersebut. Dan Vanya merasa dia sudah mengikuti perintah Tuhan dan orang tuanya. Lalu ini apa?
Oh tidak tidak. Ini pasti hanya kebetulan. Pasti Abra datang ke rumahnya bersamaan dengan tante Feby. Dia tidak mungkin apa yang Vanya pikirkan saat ini.
"nah Vanya Anastasya, kenalkan ini tante Feby, di sampingnya Abraham dan itu si kecil itu namanya Chika.. ayo Chika kenalan dong sama kak Vanya"
Lutut Vanya lemas hingga dia terduduk kembali di kursinya. Kepalanya pening hingga rasanya ia ingin membuka hijabnya saat itu juga dan menghempaskan diri ke tempat tidur. Vanya menelan ludahnya dengan susah payah kemudian melihat kearah laki-laki itu lagi yang kini sudah duduk disamping tante Feby, sedangkan tante Feby sendiri duduk berhadapan dengan Vanya.
Laki-laki itu sedang diam menatap tangannya yang berada di atas meja makan. Kemudian ia melihat kearah Vanya yang juga sedang melihat kearahnya. Ia melihat dalam sepasang mata milik Vanya. Yang tampak jelas sekali sedang menyorotkan kekecewaan. Gadis itu pasti ingin meminta penjelasan atas semua ini.
Meja makan di detik itu terasa hening. Juga dua pasang mata yang sedang bertatapan itu menambah kakunya suasana. Vanya sadar ini bukan sekedar bunga tidur. Ini nyata.
"halo kak Vanya.. ini Chika. Nanti kita main balbie baleng ya.. soalnya mas Ham kalau main balbie cuma diem doang jadi Ken. Kalau sama kakak pasti selu" entah sejak kapan gadis kecil bernama Chika itu duduk di kursi samping Vanya. Ia mengulurkan tangannya hendak bersalaman dengan Vanya.
Vanya menyambut uluran tangannya sambil tersenyum manis walau air matanya sudah membendung di mata. Nafas Vanya terasa sesak. Kata-kata itu seolah mengejek Vanya bahwa memang benar bahwa Abra adalah anak tante Feby.
"nah kalo Abraham itu temen kamu kan? Ayah inget Abraham pernah nganterin kamu pulang malem itu." Vanya hanya mengangguk-anggukan kepala sambil menatap piringnya.
"ayo dimakan Feb, Abra, Chika"
Vanya tidak mendengar lagi ucapan-ucapan setelah itu. Ia merasa menjadi orang paling bodoh di meja makan itu. Ia sadar, hanya dia yang tidak tau tentang hal ini. Abra sudah jelas tau tentang hal ini. Dibuktikan dengan tidak ada wajah terkejut sedikitpun dari wajahnya saat pertama kali melihat Vanya. Tapi sejak kapan?
Pikirannya kalut. Ia masih bingung dengan hal ini. Oh tidak, ia tak sebodoh itu, ia mengerti permasalahannya. Ia hanya tidak percaya. Atau lebih tepatnya ia berharap ini sungguh benar-benar tidak terjadi di dunia nyata. Vanya terus memohon di dalam hati. Oh ayolah, dunia tidak sebercanda ini.
Sambil terus mengaduk makanan di piringnya, sesekali ia melihat ke arah ayahnya yang sedang berbincang dengan tante Feby sambil tertawa. Wajahnya sangat bahagia hingga membuat dada Vanya sakit. Ia tidak pernah melihat ayah sebahagia itu. Tidak pernah. Vanya ingin terus melihat wajah bahagia itu seterusnya. Tapi kenapa dada Vanya sakit sekali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.