"assalamualaikum.." Vanya meletakkan sepatunya di rak sepatu sambil celingukan mencari Sang ayah.
"yah.. ayah.. pagar depan kebuka loh untung Vanya yang masuk" Vanya berjalan kearah dapur karena kemungkinan ayahnya sedang di dapur untuk memasak makan malam. Ketika sampai di dapur dan tidak mendapati ayahnya, Vanya mengerucutkan bibirnya. Ia pun mengambil air minum untuk meminum air putih. Setelah itu, ia kembali berjalan hendak mencari ayahnya di ruang kerjanya. Namun belum sampai di ruang tamu, Vanya mendengar suara isakan seseorang yang tertahan. Vanya menoleh ke sekeliling rumah, takut-takut kalau bukan orang yang sedang nangis tapi makhluk gaib. Hiii kan seram.
Setelah mendengar suara itu lagi yang semakin jelas, Vanya sadar kalau suara itu berasal dari kamar ayahnya. Dengan langkah pelan Vanya mendekati pintu kamar ayahnya. Pintu itu sedikit terbuka sehingga menampakkan sedikit celah untuk melihat ke dalam. Tapi Vanya lebih mendorong pintu itu sedikit lagi agar lebih jelas.
Tampak ayahnya yang sedang duduk di sofa dan membelakanginya. Beliau sedang memeluk sesuatu sambil menangis? ayah menangis?! Vanya menggigiti kukunya ketika melihat itu.
Di depan ayahnya terdapat layar televisi yang menampilkan seseorang yang sedang bermain piano yang Vanya ketahui itu adalah bunda. Bunda Vanya dan istri dari ayahnya.
Vanya menggigit bibir melihat ayahnya yang luruh duduk di karpet sambil mengusap wajahnya. Suaranya semakin membuat Vanya menggigiti bibirnya kuat. Ayahnya merindukan bundanya. Begitupun ia. Tapi Vanya tau, ayahnya lebih sakit dari siapapun. Ayahnya lebih rindu dari siapapun yang merindukan bundanya. Karena ayahnya yang lebih lama hidup bahagia bersama bundanya. Sedangkan Vanya hanya sampai berumur lima tahun. Itupun ia tak terlalu ingat akan kebersamannya dengan Sang bunda. Hanya ingat beberapa hal saja ketika ayahnya menceritakan kembali tentang peristiwa-peristiwa yang membuat ayahnya tersenyum dan tertawa.
Namun sekarang, luruh sudah pertahanan ayahnya. Kini ia hanya dapat memandangi foto dan satu video yang direkam ayahnya ketika bundanya mengikuti lomba piano. Di dalam video itu, tampak bundanya memakai gaun berwarna biru muda dan dengan lembut tangannya menekan tuts-tuts piano sambil sesekali tersenyum kearah kamera atau bisa dibilang tersenyum kearah ayahnya yang sedang merekam. Walaupun jarak antara bangku penonton dan panggung terlihat lumayan jauh, namun bundanya selalu menemukan keberadaan ayahnya. Hebatnya cinta bisa menemukan orang yang kita cintai di tengah keramaian kan?
Air mata Vanya ikut mengalir melihat keadaan ayahnya. Ia berdiri di pintu kamar dan ikut menonton video bundanya. Andai bundanya masih disini, pasti ia bisa melihat langsung bundanya yang memainkan piano di rumah. Bukannya hanya melihat video seperti ini. Ia juga pasti bisa merasakan kasih sayang seorang bunda seperti teman-temannya yang lain. Bercerita ketika merasakan jatuh cinta, belanja bersama di mal, memasak bersama, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang teman-temannya lakukan bersama ibu mereka. Vanya iri melihat itu semua. Walaupun ia tidak kurang kasih sayang dari ayahnya, tetapi tetap saja berbeda kan?
Ayahnya mulai menghapus air matanya dan berbalik hingga melihat Vanya yang berdiri di sana.
"Vanya.." ayahnya tampak kaget sekaligus bingung harus berbuat apa. Ia malu karena ketahuan anak gadisnya. Hidung dan mata ayahnya terlihat sekali memerah. Vanya langsung berlari memeluk ayahnya yang sedang canggung.
"ayah.... ayah gabisa terus-terusan sok kuat. Vanya tau ayah rapuh karena rindu sama bunda. Vanya ngerti. Ayah gausah malu." Vanya kembali menangis sambil memeluk ayahnya.
"ayah gak papa nak.." ayahnya mengecup puncak kepala Vanya.
"engga. Ayah itu kenapa-kenapa. Gak usah malu sama Vanya yah.."
Lama mereka berpelukan hingga Vanya merasakan bajunya basah karena airmata ayahnya. Hati Vanya sakit melihat ayahnya yang seperti ini. Ia ingin melihat ayahnya bahagia. Tapi Vanya belum bisa. Matanya kembali panas mengingat ia belum pernah sekalipun membahagiakan ayahnya. Ia merasa belum berhasil menjadi anak yang berbakti.
"maafin Vanya yah, Vanya belum pernah bahagiain ayah. Vanya bukan anak yang berbakti. Vanya bukan anak yang baik. Vanya-"
"sstt, Vanya anak ayah yang paling baik. Ayah bersyukur punya anak seperti Vanya. Vanya gak pernah macem-macem, Vanya gak pernah buat onar, Vanya anak yang sholeha, ayah coba melihat anak-anak di luar sana yang sebaya sama Vanya. Vanya masih termasuk anak yang baik nak.. ayah selalu bangga sama kamu" Vanya terharu mendengar kata-kata ayahnya yang terdengar sangat tulus.
"Vanya mohon ayah sehat-sehat ya.. Vanya janji akan bahagiain ayah suatu saat nanti. Vanya akan ngelakuin apapun. Vanya janji yah.."
"iya sayang iya.."
Akhirnya mereka melepas pelukan mereka dan tersenyum satu sama lain.
"kamu pulang diantar siapa nak?"
"oh itu.. Vanya diantar Dion yah, teman Vanya yang pernah kesini pas kapan itu." jawab Vanya masih sesenggukan efek dari tangisannya tadi.
"ohh Dion yang kamu bilang anak Pak Gandhi pengusaha itu?" tanya ayahnya membuat Vanya mengangguk sambil mengusap-usap matanya.
"oh iya astaghfirullah kita belum makan malam. Sebentar ya nak, ayah pesan dulu. Oh atau kamu pengen makan di luar?" goda ayah Vanya.
"BIG NO" protes Vanya dan membuat ayah Vanya kabur sambil tertawa. Oh tidak mungkin kan Vanya keluar rumah dengan mata dan hidung yang merah. Tapi cewek nangis itu wajarkan? Yang ga wajar adalah cowok. Ah harusnya Vanya yang menggoda ayahnya. Kenapa jadi dia yang kena.
Vanya mengambil foto bundanya yang berbingkai hitam. Cantik. Pantas saja ayahnya sampai tergila-gila. Kemudian dia menggantungkan kembali foto tersebut di tembok kamar ayahnya. Sambil tersenyum, Vanya kembali memandang foto bundanya. Semoga bundanya melihat kejadian tadi agar bundanya tau seberapa besar rasa cinta ayah.
***
part ini pendek banget! cuma 800 kata huehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe in MAGIC [FINISHED]
Teen FictionTentang dua orang manusia yang dipertemukan takdir bukan untuk bersatu, melainkan sebagai pemanis skenario Tuhan.