PART 21 : KEHILANGAN KEDUANYA

10 4 0
                                    

Vanya dan juga teman-teman sekelasnya sedang fokus mendengar penjelasan Pak Hafizh mengenai fisika kuantum ketika tiba-tiba pintu ruangan kelasnya diketuk dari luar. Setelah itu masuklah Pak Alfi yang bekerja di bagian tata usaha tampak menghampiri Pak Hafizh. Sementara mereka berdua sedang berbicara, Vanya mencatat apa yang ada di papan tulis. Gerakan tangannya terhenti ketika Pak Alfi memanggil namanya. Ia pun mendongak dan mengangkat tangannya.

"bawa tas kamu ya. Ada yang nyariin kamu. Abis ini kamu ke ruang tata usaha, dia lagi ngurusin izin pulang kamu" kening Vanya berkerut mendengar kata pulang yang terlontarkan oleh bapak itu.

Dengan gamang, Vanya membereskan buku dan alat tulisnya sambil memikirkan siapa yang menjemputnya ketika masih jam belajar. Vanya berpikir bahwa kemungkinan terbesarnya adalah Ayahnya, tapi bisa jadi bukan. Buat apa ayah menjemputnya jam segini?

Ketika dia sampai di ruang TU, kepala Abra yang tadinya menunduk langsung menoleh ke arah Vanya. Kebingungan Vanya bertambah ketika mengetahui Abra-lah yang menjemputnya.

Sesudah berterimakasih dan berpamitan dengan pekerja Tata Usaha, Abra langsung mengajak pulang tanpa kata penjelasan sedikit pun.

Hingga di dalam mobil, mulut Abra masih bungkam membuat Vanya melakukan hal yang sama setelah bertanya tiga kali yang berakhir sia-sia. Vanya kemudian memandang keluar jendela. Cuaca di luar cukup terik mengingat ini masih jam 2 siang. Untungnya kaca mobil Abra dilapisi oleh film sehingga terlindungi dari silau sinar matahari.

Perasaan Vanya mulai tidak enak ketika mobil yang ditumpanginya masuk ke daerah rumah sakit yang belum pernah Vanya datangi karena terletak agak jauh dari rumah. Ini sudah keluar dari Kota Jakarta walaupun tidak terlalu jauh.

Abra mematikan mesin mobil dan menarik rem tangan lalu ia menghembuskan nafas lelah. Sementara Vanya masih duduk diam dengan pandangan lurus ke dashboard mobil. Hatinya terasa berdebar. Ia merasa takut. Nafasnya terdengar jelas. Ia mencoba mengeyahkan pikiran tidak tentunya. Suara panggilan Abra yang mengajaknya untuk turun dari mobil ia abaikan. Sampai Abra menyerah dan menghembuskan nafas lelah, Vanya masih bungkam.

"ayah kamu.. sedang koma. Itu yang terakhir kali aku dengar kabarnya dari mama. Aku juga belum sempat masuk. Dari sekolah aku langsung jemput kamu begitu dapet kabarnya dari mama"

Mata Vanya langsung panas mendengar ucapan dari Abra. Dadanya semakin bergemuruh memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Tapi ia tidak sanggup untuk melihat ayahnya yang sekarat. Ia takut.

Bahu kanan Vanya disentuh oleh Abra membuat ia menoleh kaget. Air mata yang tadinya menggenang di pelupuk mata akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan. Kedua telapak tangannya menggepal di samping tubuhnya, sesekali mengusap kasar air matanya.

"aku.. bakal selalu di samping kamu Nya.." ucap Abra kaku. Ia bingung kata-kata yang tepat untuk menenangkan Vanya. "ayah kamu pasti baik-baik aja. Kita berdoa aja ya.. sekarang kita masuk.. mama pasti nyariin kita." Lanjutnya lagi.

Mereka berdua pun akhirnya ke luar dari mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Tangan Vanya digenggam erat oleh Abra. Mereka langsung menuju ke ruangan yang diberitahu oleh mama Abra.

Dada Vanya semakin bergemuruh ketika mereka sudah sampai di luar ruangan ayah Vanya. Ketika ia melihat suster yang sedang menutup seseorang yang terbaring dengan kain putih sampai ke kepala. Dan di sana, berdiri mama Abra yang sedang menangis sambil menutup mulutnya dengan tangan yang memegang dinding untuk menahan tubuhnya yang linglung. Abra langsung berlari memegang tubuh mamanya dan mendudukkan mamanya di sofa ruangan itu.

Sedangkan Vanya berlari menuju ke ranjang rumah sakit tempat dimana seseorang berbaring dan tertutupi kain putih. Setelah kain itu dibuka oleh Vanya, tampak wajah ayahnya yang sangat pucat dengan mata terpejam. Bagai tersambar petir, tubuhnya lemas dan panas. Wajahnya basah oleh keringat dan air mata. Suaranya melengking memanggil-manggil ayahnya untuk bangun dari tidurnya. Tangannya menepis semua orang yang memegangnya untuk menenangkannya dan setelah itu kembali mengguncang-guncang tubuh ayahnya.

Mama Abra yang melihat pemandangan itu menangis iba dan memeluk Abra untuk menguatkan dirinya. Para dokter dan suster sibuk melepaskan alat-alat yang terpasang di badan ayah Vanya. Sedangkan Abra, menatap datar ke arah Vanya. Dan sama seperti saat papanya meninggal, sekuat tenaga ia menahan agar tidak menangis dan menguatkan dirinya sendiri agar bisa menjadi benteng bagi orang-orang tersayang.

Bagai di suatu film, semua gerakan di ruangan itu bergerak bagai diberi efek slow motion. Tuhan seolah sedang tersenyum karena telah mengambil kembali hamba-Nya yang baik. Tiada seorang pun yang tau apa yang ditakdirkan oleh Tuhan walau sedetik pun. Semua sudah digariskan oleh-Nya, dan inilah skenario terbaik-Nya.

***

t:15fZ$

Believe in MAGIC [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang